“Jawab aku?! Kau mencintai ayahmu kan?!” wajah Patria menyiratkan kebencian yang nyata. Kenyataan yang harus diterimanya sangat pahit. “a, a, aku..” Tian sangat kaget dengan semua ini, bagaimana Patria bisa tahu masa lalunya, bahkan hanya dia yang tahu rahasia ini. “jangan bohong padaku, Tian! Anak macam apa kau mencintai ayahnya sendiri!” Tian tak berani menatap wajah Patria yang kini benar-benar marah. “tolong hentikan..” kini Tian tak mampu menahan tangis yang sedari tadi dia tahan. Terisak tak mampu berkata-kata, harga dirinya sudah hancur. “kau! Kau seperti kecoak! Menjijikan! Kau anggap aku ini apa Tian?! JAWAB?!!!!” butuh keberanian untuk menatap mata Patria yang kini meraja dengan hebat, membuat atmosfer di ruangan kelas itu menjadi lebih sesak. “aku…..” Tian tak sanggup melanjutkannya, lidahnya seakan tercekat. “Kau anggap aku apa Tian!!!! Pelarian?!! Hanya karena namaku sama dengannya, hah?!” Napasnya memburu, wajahnya memerah, Patria tampak sangat marah, membuat Tian tak banyak berbicara, bahkan untuk membela diri, “cukup, Patria…”. “Cukup katamu?! Selama ini aku pikir kau sangat menyayangi keluargamu, dan selama ini aku tak mengapa dianggap seperti ayahmu. Karena aku pikir kau sangat menyayanginya sebagai ayah, BUKAN SEBAGAI PRIA!!!!” Raung Patria. “Patria, please…” Mohon Tian, “jangan sebut namaku! Kau tak pantas!!”.
“aku tak mampu, Patria. Aku sungguh tak mampu untuk menjelaskan semua ini padamu. Aku…..” Bibir Tian terasa tercekat, tak mampu berkata. “mengapa Tian? Mengapa kau mempermainkan aku? Aku sungguh mencintaimu.”… “maaf, Patria…aku sungguh tak mau kau tahu…”
“hmph, sekarang kau mengakuinya.”
“tolong dengarkan aku..aku mohon…”
“……”
“aku sungguh tak tahu, bagaimana kau tahu hal itu. Dan aku, aku mengakui itu. Aku memang mencintai ayahku. Dan harus kau tahu dia bukan ayahku.. dia adalah pria yang harus aku panggil ayah, yang sesungguhnya aku tak mau dia menjadi ayahku..” Tian berhenti sesaat untuk menguatkan dirinya menceritakan segalanya tentang masa lalu itu. Masa lalu yang sudah dia kubur dalam-dalam dan kini harus dia muntahkan ke permukaan. “aku mencintai Patria saat aku berusia 15 tahun, aku hanya berbeda 5 tahun dengannya Patria! Tidakkah kau mengerti!!” emosi Tian mulai membuncah seiring dengan tatapan Patria yang menatapnya jijik, bagaikan sampah. “mengapa aku harus mengerti? Kau bahkan mencintainya, padahal kau tahu dia adalah suami ibumu, suka atau tidak! Dia bahkan tidak mencintaimu Tian!”
“aku tahu itu, tapi yang aku rasakan adalah lain. Aku mencintainya dan itu lebih dari cukup. Setidaknya aku masih bisa bersama dengannya.”
“kau membuatku muak.” “tidak cukupkah kau menghancurkan ku seperti ini?!”
“kau hancurkan aku, Tian! Aku sungguh mencintaimu, tapi apa??? Selama ini kau mempermainkan perasaanku.”
“aku sudah melupakan itu semua, Patria. Sejak aku berusaha untuk mencintaimu pada akhirnya. Bukan sebagai Patria itu, tapi sepenuhnya dirimu. Sepenuhnya dirimu, Patria.”
“aku tak akan pernah percaya denganmu lagi, Tian.”. cukup lama Tian terpaku, wajahnya terus merunduk menatap lantai yang kini menampakkan bayangan Patria, bayangan pria yang sepenuhnya dia cinta. “aku pergi…percuma aku menjelaskan semua ini padamu. Kau tak akan pernah mempercayaiku.” Tian bangkit dari duduknya yang sangat lama, tubuhnya gemetaran, dia tak mampu menopang tubuh kecilnya. Hatinya hancur, kini dia kembali kehilangan, kehilangan Patria untuk yang kedua kalinya. Penglihatannya mulai kabur karena semua genangan air di matanya. –cukuplah ini semua- ucapnya dalam hati. Dan langkahnya terhenti ketika dia merasakan cengkraman kuat yang kasar di tangan kirinya, memutar tubuhnya dan detik berikutnya dia merasakan ada tubuh besar jatuh ke dalam pelukan, atau justru tubuh mungilnya yang jatuh dalam pelukan pria itu.
“mengapa Tian?” ucapan Patria dalam bisikan di telinganya, dia menangisinya. Bukan, dia menangisi dirinya sendiri, dia menangisi dirinya yang tak mampu menerima Tian apa adanya. “maaf….” Tian hanya mengeluarkan kata ajaib itu, air matanya jatuh membasahi tubuh besar Patria. Menghirup kuat-kuat aroma tubuh Patria. Aroma yang berbeda dari Patria itu. Aroma yang lebih dia sukai, namun saat ini dia hanya akan mampu mengingatnya dalam hati, karena dia tahu Patria akan pergi meninggalkannya. “mengapa, Tian?” dekapan itu semakin kuat membuat Tian sulit bernapas, dadanya sesak. Dia tahu, Patria akan pergi meninggalkan semuanya, karena dia pasti berpikiran bahwa namanya hanya akan mengingatkan Tian dengan cinta pertamanya. “aku mencintaimu, Tian. Sangat mencintaimu.”
0 komentar:
Post a Comment