Chapter 1
Beautiful Ivy
Langkah kecilnya kini mulai menyeretnya ke arah rumah tua itu. Rumah yang menyiratkan bahwa dirinya sudah berdiri kokoh sejak 2 abad yang lalu, dengan ivy yang menjulur lembut bagai membelai. Berhenti sejenak untuk menatap rumah yang pernah dihuninya 5 tahun yang lalu, kemudian melangkah kembali untuk pergi. Sebuah rutinitas yang dilakukan setiap tanggal 29 Mei. “Hhh, mengapa aku tak pernah mampu untuk melupakanmu? Mengapa dulu ayah dan ibu mau menepatimu? Bahkan saat itu umurmu tak lebih muda dari usia kakekku.” Keluh kesah yang keluar dari bibir mungilnya, -kau kenanganku bersamanya- ucapnya dalam hati, menamatkan ucapan yang ternyata belum selesai.
Baru saja beberapa menit dirinya termenung di depan rumah itu, namun “Hei! Apa yang kau lakukan di rumah Kakekku?!” terdengar suara pria dibelakangnya. –Tak usah risaukan, tak usah risaukan.- ucapnya dalam hati. Kini langkah kakinya dibuat besar-besar agar pria itu menghiraukannya. Namun yang dilakukannya sia-sia, justru pria itu mencengkram pergelangan tangan kanannya, “Apa kau tuli, hah?!”. “Auch! Apa sih maumu?!” Mau tak mau dirinya harus menghadapi pria itu. Dengan sedikit gerakan anggun, dirinya memutar tubuh kecilnya untuk menghadapi pria tersebut. “Kau?!” teriakan lelaki yang tak perlu sebenarnya. “Bisakah kau pelankan suaramu! Ini masih jam 6 pagi!” teriaknya tak kalah keras dari suara sang pria. “Sedang apa kau disini? Menguntit rumahku lagi.” Tuduh lelaki itu. “aku tak menguntit! Aku hanya berjalan-jalan.” Bela sang gadis, “Tak mungkin. Aku tahu rumahmu dimana, dan aku tahu kau selalu datang setiap tanggal 29 Mei.” Masih dengan penuh selidik mengamati gadis yang ada didepannya.
“Aha! sekarang aku tahu siapa yang menguntit. Dan kau menuduhku melakukannya? Hah, betapa bodohnya kau.” Kata gadis itu sekenanya. Kini wajah pria itu bersemu merah, namun dengan cepat menguasainya kembali “aku tak menguntit. Aku hanya penasaran apa yang kau lakukan dirumah kakekku dan mengapa kau selalu memetik bunga ivy disana?” Tatapan curiga kini tengah menyelimuti dirinya dan dia merasa tidak nyaman dengan hal itu. “Aku terpaksa. Ini kebiasaan lama.” Jawabnya dengan mengangkat bahu.
***
“Tian, kau sudah pergi mengunjungi kakekmu?” tanya ibu muda kepada seorang gadis yang sedang duduk dipinggir jendela, menatap air yang turun dari langit. “Sudah bu, tadi pagi.” Jawab Tian singkat. “Oh, baguslah. Lalu, dimana bunga ivynya?” ibu itu mulai menanyakan apa yang dia cari sedari tadi. “Sudah aku letakkan di meja ayah.” Kembali Tian menjawab dengan singkat tanpa menoleh sedikitpun ke arah ibunya. “Terima kasih, cantik. Maaf ibu selalu merepotkanmu.” Kini Tian merasakan sentuhan lembut di atas kepalanya, ternyata ibunya tengah mengecupnya. Merasa agak risih dengan tindakan ibunya, Tian berusaha menghindar. “Tak apa, bu. Aku senang bisa membantu ibu.” Ucapnya, matanya mengerling ke arah ibunya, berusaha menelisik apakah ibunya merasa tidak enak akibat penolakan kecil yang tadi dia lakukan, namun tampaknya tak ada yang tersirat di mata ibunya kecuali tatapan bahagia. “Ayah akan bangga padamu. Oh ya, ayah akan pulang hari ini, ibu akan menyiapkan makanan kesukaannya. Kau mau membantu ibu, Tian?” ucap ibu penuh semangat, matanya berbinar-binar. “Maaf bu, tapi aku harus pergi mengunjungi Joseph di rumah neneknya. Dia sakit.” Tian kini bangkit dari duduknya, segera mengenakan jaket hitam kedodoran miliknya. “Oh. Baiklah, sampaikan salam ibu untuk Joseph dan neneknya.” Terlihat diwajahnya, sedikit kaget akan tindakan tiba-tiba anak perempuannya itu, namun segera dia sembunyikan. “Aku berangkat dulu, bu.” Pamit Tian. “Hati-hati! Dan jangan pulang telat! Ingat, hari ini ayah akan pulang!”. Tian pergi dengan perasaan masyghul. Joseph tidak sakit dan dia tidak ada di rumah neneknya, semua itu hanya karangan Tian untuk menghindari drama tragedi yang setiap tahun dibuat oleh ibunya, yang semakin lama membuat Tian muak. Semakin jauh Tian berjalan, semakin tampak bukit kehijauan dengan gundukan-gundukan tanah berselimut rumput hijau yang sangat apik tersusun. Kini matanya menelusuri nisan-nisan yang tertulis Patria, nama ayahnya.
“Hai, ayah.” Ucapnya canggung, dirinya merasa ganjil dengan tingkahnya sendiri. “ibu menantimu di rumah. Hari ini dia menyuruhku mengambil bunga ivy kesukaanmu di rumah kita. Lebih tepatnya, bekas rumah kita dulu.” Lama Tian duduk di samping nisan ayahnya, sampai pada akhirnya dia memutuskan untuk bangkit karena sudah waktunya. “Bye, yah..I love you.” Ucap Tian, namun nada yang dia ucapkan bukanlah nada seorang anak mengucapkan rasa cinta terhadapnya melainkan ucapan seorang wanita kepada kekasihnya.
***
Keesokan paginya Tian bangun dengan perasaan galau, setiap tahun selama 2 hari setelah kejadian tahun itu pasti dia akan merasakan kegalauan yang menyebabkan dia sangat lelah. “mmmm…..tanggal 30? Hhh…” desahnya, cukup hari ini, untung saja hari ini libur, ucapnya dalam hati. “ichi ni san,Go! Go!! Go!!! Selamat pagi Tian!!!” menyemangati diri sendiri adalah yang terbaik selama itu membuatmu ingat akan realita. Setelah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin Tian turun untuk membantu ibunya di dapur sebentar sebelum dia pergi melanjutkan rencananya.
“hmm…bu.” Tian memulai pembicaraan dengan hati-hati, karena kemarin seperti tahun-tahun sebelumnya, Tian diam-diam menyuruh Joseph untuk menelpon ibunya dan berpura-pura sebagai ayah, mengabarkan bahwa ayah tak bisa pulang. “ya?” “apa ayah kemarin menelpon?” “ya, tapi dia tak bisa pulang tahun ini. Hhh.. ibu tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ini tahunmu masuk SMA, tapi dia tak bisa pulang???” “hmm…sebenarnya ini tahun pertama ku kuliah, bu.” “apa?! Jadi ayahmu sudah beberapa tahun tak pulang?!” “iya, ibu. Tapi tak apa kan? Buktinya kita bisa melewati hari tanpanya? Iya kan?” “iya, tapi…tapi mengapa aku tak tahu kau sudah masuk kuliah?” “tenang ibu, tak usah kau pikirkan ya?” Tian tersenyum dan mencium kening ibunya dengan lembut, sama seperti yang selalu ayahnya lakukan. “kau mirip dia, Tian.” Kini ibu tersenyum, Tian merasakan hati ibunya pasti hancur mendambakan orang yang dicintainya tak akan pernah datang untuk selamanya, karena dia sudah berada di alam yang berbeda. “aku berangkat ya, bu.”
***
“Tian!” “Joe?”
“Bagaimana? Ibumu baik?” “seperti biasa, Joe. Apa aku harus membawanya ke makam ayah?” “kenapa? Bukankah kau mengatakan sendiri bahwa ibumu tidak menerima kenyataan yang ada? Makanya sekarang dia..” “ hhh…… aku sudah lelah, joe. Aku ingin semua berakhir. Aku lelah berpura-pura terus.” “sabar..ok.” ucap Joe diakhiri dengan senyuman simpulnya.