Sudah 1 bulan Tian menjalani hubungan dengan pria bernama Patria, namun selama itu pula mereka tak melakukan kontak fisik yang biasa dilakukan pasangan lain. Tian sangat menjaga prinsip yang dimilikinya, dan Patria mampu memahami itu. Disisi lain, Joe sangat heran akan hubungan Tian dan Patria, dia merasa sesuatu yang aneh menjalar dipikirannya. Apakah benar Tian menyukai Patria? Atau hanya sebatas rasa penasaran saja?
**
“Joe. Kenapa kau hampir selalu melamun akhir-akhir ini?” Tanya Tian disela-sela acara makan siang mereka. “Nothing.” Jawab Joe singkat, sibuk dengan makan siangnya. “Hanya itu? Mengapa kau tak mau menceritakan padaku, ada apa sebenarnya?” Tian menatap heran Joe yang kini memasang raut wajah yang serius, sangat serius malah. “Aku akan ke rumahmu hari ini, mungkin setelah isha, aku ingin bicara padamu.” Joe sungguh membuat Tian heran sehingga Tian tak tahu harus berkata apa, “Hmm…” hanya itu yang mampu keluar dari mulut Tian. “Kenapa? Kau ada janji?” Tanya Joe, “Tidak, hanya saja aneh, biasanya kau langsung bicara jika ada sesuatu yang mengganjal dipikiranmu. Tapi sekarang…” Pernyataan ini menyiratkan keanehan Tian pada tingkah Joe hari ini, keanehan yang mengganjal. “Ini berbeda, masalah ini serius. Ini tentang mu.” Joe menghentikan ritual makan siangnya dan memandang tajam ke arah Tian, membuat Tian memasang wajah yang heran, “He? Tentang aku?” Ucap Tian, “-Tapi kenapa?”. Joe masih memandang wajah Tian, terpaku menatap nanar Tian, gadis yang menginjak usia 20 tahun yang kini mulai berubah, saudara sepupu satu-satunya yang Joe miliki. Gadis yang sedari kecil bermain dan menghabiskan masa-masa kecil bersamanya, dan beranjak dewasa bersama.
Tian yang merasa diperhatikan seperti penjahat yang sedang diinterogasi oleh polisi kini gelisah, mengapa Joe menjadi seperti ini, berubah menjadi over-protected pada dirinya. Apakah karena Patria, atau karena masalah lain? “Baiklah, aku tunggu di rumah. Setelah isha kan?” Tian akhirnya menyerah dengan segala rasa penasarannya, dia tahu tak sepantasnya dia harus memaksa Joe yang sepertinya, kini dirundung masalah atau justru sedang mencari masalah. “Aku pergi duluan Joe, ada kelas. Bye.” Tian segera pergi meninggalkan Joe yang masih diam, menatapnya.
***
Malam hari itu penuh bintang, tak berawan. Namun seorang laki-laki yang beranjak dewasa tampak tergesa-gesa, tak menikmati langit malam. Sepertinya ada sesuatu yang sangat urgent bagi dirinya. Jalanan gang saat itu sepi, hanya berisi gerombolan pemuda tanggung yang berkumpul di warung kecil di tepi depan gang, setelahnya tak ada. Joe, merapatkan jaket coklat miliknya, angin malam ternyata sudah mengajaknya bermain. Bintang malam ternyata justru menarik perhatian angin.
Sampailah Joe di rumah kecil no 7, rumah Tian. Belum sempat Joe menekan bel, pintu rumah sudah terbuka. “Aku melihatmu dari atas.” Ucap Tian sambil tersenyum, berdiri di depan pintu. “Tetap menantikan ku, ya.” Jawab Joe sekenanya sambil tersenyum simpul, juga untuk memecah kebekuan percakapan siang tadi. “Ayo masuk, di luar dingin.” Tian menarik lengan Joe untuk masuk. Rumah Tian sudah mengalami renovasi rupanya, ruangan depan yang dulunya penuh dengan sofa besar, kini berganti dengan kursi kayu etnik yang justru membuat ruangan itu terlihat lebih besar dari sebenarnya. “Sudah lama ternyata aku tak kemari.” Ucap Joe tiba-tiba. “Berubah ya?” Tanya Tian, yang sebenarnya sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, “Kursi itu ditukar oleh ibu 1 minggu yang lalu, katanya supaya aku tak menghabiskan waktu tidur-tiduran di sofa. Hehehe.” Tian melanjutkan. “Terlihat lebih lapang, lebih tenang juga.” Joe nampaknya sedang mengikuti kata hatinya, terlihat sedikit dewasa dari ucapannya.
“Sebenarnya ada apa denganmu sih, Joe?” tanya Tian setelah mereka berada di kamar Tian. Joe yang duduk bersila diantara bantal-bantal kotak di pojok dekat jendela, sedikit menggeser posisi duduknya sebelum menjawab pertanyaan Tian. “Justru aku kemari untuk membahas tentang dirimu dan Patria.” Sesaat Joe menarik napas panjang, “Kau benar-benar menyukainya? Atau hanya karena kau menemukan sosok ayah tirimu?”. Seketika Tian mempererat dekapannya pada boneka monyet kesayangannya, raut wajahnya berubah, namun masih mampu menjawab pertanyaan Joe. “Kau benar-benar ingin tahu ya, Joe.”, Joe mulai mengeluarkan semua rasa penasarannya selama ini, tetap dengan posisi bersila dan suara yang datar, “Kau aneh Tian, kau aneh. Aku tahu siapa kau.”. Tian tersenyum mendengar perkataan Joe, dia tahu dirinya unpredictable dan aneh, “Kalau kau tahu siapa aku, kau tentu akan memilih diam daripada membuang waktumu untuk membahas ini.”, “Joe, aku sungguh tak ingin membahas Patria, baik Patria yang sekarang mau pun ayah.”. Tian membiarkan Joe untuk membalas perkataannya, “Aku melihatmu seperti merasakan ayah tirimu hidup kembali, Tian.” Wajah Joe tampak sangat cemas, Joe benar-benar mengkhawatirkan Tian, “Aku mengkhawatirkanmu. Kau sahabatku.”. “Terima kasih Joe, tapi sungguh aku tak ingin membahas ini.” Balas Tian, “Jika kau memang melihatku seperti itu, mungkin ya, aku melihat ayahku hidu kembali, namun itu tak berarti aku harus menceritakannya padamu.” Joe merasa tidak puas dengan jawaban Tian, “Tapi….” Belum selesai Joe berbicara, Tian mengambil alih “Tak ada tapi Joe, yang ada adalah kau tahu alasan aku menyukainya, karena dia cantik. Dan aku berusaha untuk membuka hatiku untuk orang lain. Kau tahu yang sesungguhnya, kau tahu aku mencintai siapa. Joe, aku mohon, aku ingin sekali menghilangkan perasaan itu padanya, aku tak bisa.” Malam ini, malam pertama Tian melakukan pembicaraan yang sangat tenang dengan Joe, “Ya, aku tahu. Aku tahu walau kau tak menceritakannya padaku.” “Karena itu Joe, aku mohon, jangan campuri urusan ku yang satu ini.” “Kau ingin aku berpura-pura tidak mengetahui yang sebenarnya atau?” “Aku ingin kau membiarkan aku menyelesaikan permasalahanku sendiri.” Tian berhenti sejenak untuk menemukan kata-kata yang pas agar Joe mengerti apa yang diinginkan dirinya, “Joe, kau sudah sering membantuku bahkan terluka karenanya, jadi biarkan kali ini, permasalahan ini aku selesaikan sendiri.” “Baiklah.” Jawab Joe. Joe menyerah, namun tetap menekankan bahwa dirinya harus memantau bahwa semuanya akan baik-baik saja, “Tapi aku akan ikut campur jika urusannya bertambah rumit, Tian.” “Terima kasih, Joe. Aku menyayangimu, kau saudara ku yang baik.”. Tian mengakhiri pembicaraan malam itu dengan memeluk Joe, sepupu lelaki satu-satunya dari keluarga ayah kandungnya, yang sangat menyayangi Tian.
Malam itu, menjadi malam pertama pembicaraan dewasa antara Tian dan Joe. Malam yang sangat panjang untuk kedua anak manusia itu. Malam itu menjadi saksi bahwa Tian dan Joe beranjak dewasa.
0 komentar:
Post a Comment