“Tian, aku tunggu ya.” Patria tiba-tiba saja mengajak Tian untuk pergi ke suatu tempat. Entah apa maksud Patria, sikapnya kerap membuat Tian heran sekaligus tersipu-sipu. Sudah sekian lama Tian tak pernah merasakan rasa yang berbeda dengan seorang pria terkecuali dengan pria itu. Dengan anggukkan kecil dan senyuman, Tian mengiyakan ajakan Patria. “Oke, jangan lupa ya!” Teriakan Patria saat berlari meninggalkan ruang kelas Tian membuat hampir separuh kelas menoleh ke arahnya.
“Hey, Tian! Jangan lupa kau. Sabtu besok ada perkumpulan klub photography.” Sania berteriak dari sudut kelas, mengingatkan kalau hari sabtu Tian harus mengikuti rapat klub photography, maklum saja, Sania adalah ketua baru klub tersebut dan dengan paksaannya pula lah, Tian menjadi sekretaris di klub. “Iya, Sania!!! Tak bisakah kau membuatku sedikit senang dengan meliburkan ku satu hari saja.” Tian membalikkan badannya untuk menatap Sania dan membalas ucapannya.
“Untuk bertemu dengan Patria itu?” Ucap Sania sinis. “Ohh tidak bisa…” lanjut Sania sambil memanyunkan bibirnya. “Menyebalkan!” Tian sengaja memanyunkan bibirnya, membuat ekspresi tak suka yang dibuat-buat, “Hahahaha, maaf ya sekretaris. Program kerja sudah aku buat, aku harus segera menginformasikannya pada anggota. Lagipula akan ada anggota baru dari kelas baru. Anak-anak yang unyu..” jelas Sania panjang lebar. “Iya, aku tahu.” Ucap Tian lemas, “salah memang klub memilihmu sebagai ketua. Semua pasti dijadikan pegawai romusha untuk semua proker mu, San.”. “Apa kau bilang, Tian? Romusha? Ini demi kemajuan klub kita! Klub yang akan membuat semua orang tahu bahwa…” belum selesai Sania berkata-kata, Tian menyambar omongannya “bahwa klub kita adalah klub yang menjadi bagian di sesi pemotretan acara kampus, penerimaan siswa baru, acara organisasi dan UKM lain.”. Omongan Tian kali ini rupanya membuat Sania lupa daratan, Sania segera saja pergi ke suatu tempat. Membuat Tian merasa bersalah, “Sania!! Mau kemana kau??”
“Ke kantor! Aku lupa menyiapkan proker lain! Aku titip absensi ya!!.Tian kini melihat bayang Sania yang berkelebat semakin menjauh, hingga matanya menemukan buku kecil tergeletak di depan pintu masuk kelas. “Buku Sania?”, diambilnya buku itu. Bersampul kulit berwarna coklat dan bertuliskan Patria, catatan kecil dari perjalanan panjang. Tian berpikir sejenak sebelum membukanya, milik Patria. Hatinya sedikit berdesir, entah apa yang membuat jantungnya berdegup. Belum sempat dirinya membuka buku itu, secarik kertas kecil meluncur keluar dari celah-celah buku. Dengan sigap Tian mengambilnya, dan membaca tulisan di kertas tersebut.
Aku melihat kau sepintas menumbuhkan asa
Berjuang untuk mendaki kehidupan
Merayap menapaki kerasnya hembusan cobaan
Mencoba melawan arus pertentangan
Terkagum melihat kau tetap tersenyum
Dengan kaki dan tangan yang selalu terkekang
Mencibir kehidupan lemah selemah angkara
Paras cantik tak pernah berubah
Saat kau menangis atau tertawa
Menghujami berbagai kata-kata
Serapah hanyalah sampah
Wahai perempuan Ivy
Bolehlah aku tahu dimanakah akarmu
Berjuang untuk mendaki kehidupan
Merayap menapaki kerasnya hembusan cobaan
Mencoba melawan arus pertentangan
Terkagum melihat kau tetap tersenyum
Dengan kaki dan tangan yang selalu terkekang
Mencibir kehidupan lemah selemah angkara
Paras cantik tak pernah berubah
Saat kau menangis atau tertawa
Menghujami berbagai kata-kata
Serapah hanyalah sampah
Wahai perempuan Ivy
Bolehlah aku tahu dimanakah akarmu
Tersenyum dalam diam dan tersipu, Tian tahu dirinyalah perempuan di puisi itu. Tak menyangka Patria mampu membuat puisi seperti itu, lembut namun tetap tegas dan berwibawa sebagaimana seorang pria.
“Ehm, Apakah kau akan terus mematung seperti itu nak?” ucap seorang paruh baya dibelakang Tian. Sesaat Tian tampak seperti akan berkata tunggulah sebentar sampai aku selesai tersenyum namun, “Eh, oh. Te, tentu saja tidak pak.” Ujar Tian gelagapan dibarengi tawa cekikik dari teman-temannya. “Kalau begitu segera duduk di kursi mu, pelajaran akan dimulai.” Ujar dosen tua itu sambil tersenyum dan mempersilakan Tian untuk duduk layaknya nona besar. Malu, segera Tian mengambil tempat duduk di barisan kedua dari depan dan memasukkan secara paksa buku serta kertas tersebut ke dalam tas, mengeluarkan catatan miliknya untuk memulai pelajaran.
***
“Hahahahhahahahaha!” Gelak tawa Joe terdengar seantero kantin fakultas tekhnik, tertawa karena cerita Tian. Yang ditertawakan hanya mampu tersenyum simpul dan diam seribu bahasa. “Tak bisakah kau pelankan sedikit tawa mu, Joe. Aku malu.” Bisik Tian, “Lagipula kita dilihat banyak orang, tahu!” lanjutnya lagi masih dengan berbisik. “Habis cerita mu itu, lho. Kenapa kau bisa bertingkah seperti abg labil sih?” Tanya Joe heran, masih meyeka air matanya yang keluar karena tertawa. “Aku belum pernah membaca puisi yang dikirim khusus untukku, Joe.” Jawab Tian membela diri, “Aku kan juga tak tahu kalau ada dosen, untung saja dia tidak mengambil kertas itu.”. “Tetap saja kau seperti anak SMA, ingat Tian, kita sudah kuliah lho..” Joe menekankan unsur usia di kalimatnya ini, membuat Tian cemberut. “Aku sudah dewasa tahu!” Ujar Tian. “Hahahahaha, iya iya iya.”
***
“Terima kasih atas waktu kalian, maaf sudah menyita malam minggu kalian.” Ucap Sania mengakhiri rapat program kerja di malam sabtu. Semua anggota menghela napas lega, semenjak sore mereka harus mendengarkan Sania menjelaskan program kerja mereka setahun ke depan, mendengarkan Sania sama saja seperti mendengarkan orator yang berapi-api, semangatnya benar-benar patut diacungi jempol. Jika yang lain bersiap untuk pulang, lain halnya dengan Tian, dirinya masih berkutat di depan laptopnya untuk mencatat agenda setiap acara. Tian mengikatkan kain gulung didahinya, sedikit untuk menyemangati dirinya. “Kau belum selesai?” tanya Sania, “Lanjutkan di rumah saja. Sudah jam 9 malam.”. “Tak apa, tanggung nih..” jawab Tian tanpa menoleh ke arah Sania, tangannya masih asyik menekan tuts keyboard laptop. “Bener nih? Aku gak tanggung kalau kau kemalaman sampai rumah, lagipula bukankah kau ada janji dengan pria itu?” Uraian panjang Sania membuat Tian, sepersekian detik menghentikan pekerjaannya dan berpikir. Tian lupa dia masih memiliki janji dengan Patria hari ini. “Aishh!!!!! Aku lupa!!!” Jerit Tian, segera saja Tian membereskan semua barang miliknya untuk segera pulang, sementara Sania sudah keluar satu menit yang lalu.
“Kau masih belum berkemas?” Tian dikejutkan oleh suara pria di dekat pintu, pria tinggi itu melangkah masuk ke sekretariat klub photography. “Patria?” ucapan Tian hanya dibalas senyuman oleh Patria, dia tahu Tian sebenarnya masih ingin menyelesaikan pekerjaannya. “Kau masih ingin mengerjakan tugasmu?” tanya Patria, duduk di bangku kosong berhadapan dengan Tian. “Eh, oh, hm…. Iya. Sebenarnya aku tak mau membuat agenda klub di rumah, aku ingin semuanya rampung hari ini.” Keluhnya, “aku tak mau nantinya menyita waktu ku, tapi…” belum sempat Tian menyelesaikan perkataannya, Patria memotongnya,“Aku akan menemanimu disini, bagaimana?” ucap Patria, “Ha??” Tian terkejut dengan perkataan Patria barusan, bingung harus menjawab apa. “Bagaimana? Lagipula aku sudah bilang ke rumah aku pulang telat hari ini.” Patria tampak sedikit menuntut jawaban segera dari Tian, “Baiklah, tapi kau duduk saja disitu, ya.” Jawab Tian. “Sip.”.
Tian membongkar kembali barang-barang miliknya yang diperlukan, tangannya dengan segera menekan tuts keyboard, mengetikkan kata-kata yang menjadi rangkaian agenda klub setahun ke depan. “Maaf.” Ucap Tian masih terus menatap layar, “Maaf kenapa?” “Aku tak memenuhi janjiku. Malah kau datang kesini dan menemaniku.” Ucap Tian menyesal, “Tak apa. Yahhhh…walau pun aku agak kesal.” Jawab Patria, berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, “Kau tak datang. Hari ini juga buku catatan ku hilang, tapi setidaknya aku bisa menemanimu disini. Tanpa Joe.”. Patria tersenyum, senyuman yang manis, walau tak semanis Patria itu. “Kau senang tak ada Joe? Aku justru panik tanpa Joe.” Ujar Tian, matanya terus menatap layar, menolak untuk menatap lama Patria. Jika ia terus menatap Patria, jantungnya akan berdegup kencang tak terkendali. “Setidaknya tak ada yang menatapku tajam ketika aku bersamamu.” Ujar Patria diselingi senyum jahil. “Ahhh…..aku ngantuk.” Lanjutnya, kemudian tanpa meminta persetujuan, Patria merebahkan kepalanya di bagian meja yang masih kosong. “Patria?” panggil Tian pelan, “Patria?” ulangnya, “Kau tidur?” tak ada jawaban, Patria terlelap di kursi berhadapan dengan Tian, hanya terhalang layar laptop milik Tian.
Lima menit setelah Patria terlelap, Tian selesai membuat agenda klub. Menggeliat sebentar sebelum membereskan barang-barangnya dengan hati-hati. Mengambil kamera nikon D90 milik klub, Tian kini memotret Patria. Tersenyum dalam diam. Tian senang hari ini, disampingnya ada Patria, Patria yang lain, yang mulai mengisi hatinya. Dikeluarkannya buku kecil bersampul kulit berwarna coklat itu, diletakkan dengan hati-hati di samping kepala Patria. “Terima kasih puisinya, aku mungkin terlalu geer, tapi aku yakin puisi perempuan ivy karyamu adalah untukku. Maaf, aku harus pulang meninggalkanmu sendiri disini. Joe datang menjemputku. Selamat malam, Patria. Terima kasih atas semuanya.” Bisik Tian pada Patria.
***
ucapan terima kasih untuk kalian semua yang setia membaca Beautiful Ivy buatan ku yang masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan senyum :)
untuk kakak lelaki ku yang sudah menyempatkan waktunya untuk membuat puisi Perempuan Ivy.
untuk kakak lelaki ku yang sudah menyempatkan waktunya untuk membuat puisi Perempuan Ivy.
Terima kasih semua
0 komentar:
Post a Comment