Namanya Sisi, gadis belia berusia 15 tahun yang selalu menutup helai rambutnya dengan jilbab panjang berwarna warni. Matanya luar biasa indah, biru laut menawan. Wajahnya bagai porcelain buatan negeri seberang. Sisi, gadis yang mencintai segala yang terjadi dalam hidupnya. Ibunya yang mengajarkan semua hal itu padanya. Wanita paruh baya yang membesarkannya seorang diri, dengan tenaga dan peluhnya.
Sisi tak pernah mengenal ayahnya karena memang tak ada yang harus dikenalinya. Dulu sekali, 16 tahun yang lalu ketika semua hal itu bermula. Ibunya masih seorang wanita belia, saat itu usianya baru 21 tahun yang mengikuti pelatihan sebagai tenaga kerja Indonesia. Dan dalam 1 tahun itu kejadian mengerikan yang akan mengubah segala hidupnya. Bukan, ibunya bukanlah seorang yang seperti itu. Wanita paruh baya itu adalah wanita yang tak akan menjual harga dirinya untuk sesuap nasi. Dia tidak akan menukar hidupnya dengan dunia yang penuh kenistaan. Dia adalah wanita yang menjaga kesuciannya, dia adalah korban dari nafsu manusia yang tak mempunyai hati nurani.
Tak ada yang membuat Sisi kecewa, hidupnya adalah hal yang dia syukuri. Fakta bahwa ibunya selalu merawatnya membuat Sisi menyadari bahwa dirinya spesial. Beruntung dia masih bisa bersekolah di sekolah negeri berkat ibunya, tidak seperti teman sepermainannya dulu yang harus membantu orang tua mereka di ladang. Kehidupan buruh tani memang kebanyakan seperti itu.
Sisi yang sudah 15 tahun menjalani hidup di desa itu sudah banyak makan asam garam kehidupan, sejak dia bisa mengerti apa yang diucapkan tetangga-tetangganya, dia tahu bahwa dia dan ibunya sering menjadi bahan olok-olok. Sisi anak pelacur, Sisi anak haram, Sisi ini, Sisi itu. Sisi sering mendengar mak Ramli bergosip dengan tukang sayur kalau bu Surti,ibu Sisi, pasang susuk, makanya ada bule yang senang dan melakukan perbuatan tak senonoh, lupa kalau si bule gak pakai pengaman jadi kebobolan. Seiring waktu berlalu, lelah juga warga sekitar bergosip tentang Surti dan anaknya.
“Heh, Sisi! Lagi apa?” Suara sapaan dari perempuan sebaya Sisi di seberang pagar. “Eh, Mi. Lagi jemur pakaian saja.” Sisi segera menghentikan kegiatannya dan menghampiri Maesara. Tersenyum senang karena sahabatnya baru bertamu lagi ke rumahnya semenjak 3 bulan lalu, maklum Maesara bekerja menjadi pembatu rumah tangga di daerah Jakarta. Sisi sering diajak, namun ibunya melarang, harus terus sekolah katanya. “Kabarnya gimana, Mi? Ya Allah, cantik sekali kamu sekarang.” Ucap Sisi seraya membukakan pintu pagar.
Maesara masuk sambil membawa keranjang buah, tapi isinya bukan buah, melainkan kain perca yang sudah tak terpakai dan ada bungkusan kecil yang disampul kertas kado cantik. “Alhamdulillah, di Jakarta seru, Si! Yang punya rumah baik sama saya. Sekarang lagi dikasih cuti lebaran haji. Hehehe.” Kata Maesara sambil masuk, setelah duduk di teras Maesara langsung memberikan bingkisan kecil yang dibawanya, “Ini buat mu, Si. Maaf ya kalau gak suka. Waktu ke Tanah Abang, saya nemu kerudung lucu, belum ada di kampung deh kayaknya. Terus ini juga kain perca dari Jakarta sama emak buat ibumu.” Sisi yang baru saja membawa nampan minuman dan cemilan untuk Maesara, terkesiap. Maesara, teman lamanya begitu baik, bahkan sampai repot-repot membawa oleh-oleh untuknya. “Repot-repot sih, Mi. Sampai dibungkus kayak kado segala. Kain percanya diterima, Mi. Ibu pasti senang, buat jahit. Makasih ya. Hehehe.” Duduk di kursi sebelah Maesara, dan membuka bungkusan kecil yang isinya kerudung pemberian Maesara. “Gak, kok. Seneng ihh bisa ngasih sesuatu ke temen sendiri, yang suka ngasih lihat pr pas sd, hahahaha.” Maesara terbahak mengingat jaman sd dulu, dari sd kelas satu sampai kelas 4, Maesara selalu melihat pr milik Sisi.
“Masih inget, Mi? Iya, kamu sih keseringan nyontek pr saya. -” Ledek Sisi, membuka lipatan kerudung pemberian Maesara. “-Ihh, lucu Mi, kerudungnya.” Maesara tersenyum bangga, senang melihat temannya menyukai pemberian kecilnya. “Iya kan? Hehehe saya sengaja tuh milihin yang itu.” Raut wajah Sisi agak serius, alih-alih memperhatikan kerudung dia malah memperhatikan Maesara “Pasti mahal ya, Mi?” Nada bicara Sisi terlihat sedikit canggung, dia merasa tidak enak dengan Maesara yang sengaja membelikan kerudung untuknya. “Gak, tenang aja. Lagian saya sudah bisa cari uang sendiri, jadi gak perlu pusing.-” ucap Maesara sambil tersenyum, “-beda kalau kamu. Belum kerja, masih sekolah. Masih bocah. Hahahaha.” Maesara kembali usil, meledek sahabatnya, membuat Sisi hanya tersenyum dibilang bocah. Obrolan panjang dua sahabat lama itu mengalir apa adanya. Seperti waktu tak akan tergantikan lagi untuk mereka.