Musim yang seharusnya sudah berubah secara perlahan, sepertinya masih keras kepala dengan keengganannya. Musim masih saja bersahabat dengan matahari, walau angin lembut membawa kesejukan tersendiri. Untuk aku, aku masih asyik saja dengan keadaan yang tak terlalu berbeda, hanya saja sepertinya ingin sedikit menikmati rintik hujan.
Aku semakin lama semakin berpikir, entahlah, mungkin pemikiran perempuan berusia 22 tahun yang kurang pantas juga berusia 22 tahun. Setidaknya, dalam pikiranku, aku sudah pantas berusia 24 tahun, dengan seorang suami dan seorang anak. Itu hanya pemikiranku saja, oke. Tak perlu protes.
Tahun ini, yah.. kembali ke tahun ini. Tahun yang semakin membuat aku berubah. Baik itu merubahku menjadi lebih dewasa maupun menjadi lebih rapuh dari yang seharusnya. Aku ini kuat seperti pohok ek, meraja di antara rerumputan perbukitan, kokoh dan kuat, walau kata orang 'yang tampak kuat itu adalah yang terlemah'.
Oke, kembali ke 'tahun ini'. Tahun ini begitu banyak problematika, luar biasa ya, seorang Ghesti mengatakan 'problematika'. Kalau musuh bebuyutan aku tahu, hmph...pasti dia sudah mengritik aku habis-habisan. Masalah tahun ini, sepertinya terus membuat aku berpikir, berpikir dan berpikir terus, seperti berpilin, membuat pusing.
Tahun ini, tahun dimana usia aku akan 22 tahun, insya Allah. Oktober, dan menujunya sungguh, aku pikir kehidupan ku akan tetap seperti biasa, menyenangkan. Nyatanya, aku diharuskan untuk terus menyikapi hidup dengan bijak, bahkan sejak usia SD! Sebenarnya, walau terkadang aku merasa lelah, penat, ingin lari dari kenyataan, namun aku tahu, Allah mencintaku sangat. Bukankah disetiap kesulitan ada kemudahan? Bukankah jika Allah menyayangi hambaNya, Dia akan memberi ujian, agar derajat hambaNya setingkat lebih tinggi? Bukankah Allah senang mendengar permohonan hambaNya?
Tak perlu diragukan lagi.
Aku saat ini mungkin sedang lelah, penat menghadapi semua yang ada dalam pikiran aku. Wajahku kuyu, bagian bawah mataku berkantung, tampak seperti orang yang kurang tidur. Mungkin aku tidak seperti pohon ek. Hei, bukankah semakin tinggi pohon semakin kencang angin yang dirasakan? Satu hal yang terus aku lakukan, aku akan terus bersyukur dan menikmati hidup dengan memberi pancaran positif yang aku bisa. Aku mungkin di cap kekanakan, tapi bukankah semua bahagia jika kita bersemangat dan bergembira. Energi positif yang terus mengalir.
Jadi, biarlah Allah saja yang tahu linangan air mata yang tak pernah putus untuk masalah, sang sahabat sejati. Berharap, karena Allah lah yang maha segala.
-- Dibuat untuk menyemangati diri sendiri --
Jakarta, 22 Agustus 2012
Usia ku 22 tahun, dan aku masih tak bisa menerima makna dari kehilangan yang hakiki.
Usia ku 22 tahun, dan aku harus menerima kehilangan untuk selamanya.
Usia ku 22 tahun, dan aku tahu makna dari kehilangan.
Usia ku 22 tahun, cucu pertama dari seseorang yang akhirnya meninggalkan keluarga fana. Seseorang yang mengajarkanku banyak hal. Membuat aku mencintai membaca, mencintai anak-anak, mencintai segala makna perjalanan. Membuat aku mampu berkembang melebihi pemikiran seumuranku, penuh analisis, dan juga ekspektasi yang luar biasa.
Usia ku 22 tahun, dan aku menangis untuknya. Menangis dan terus mendoakannya. Aku menangis terakhir, setelah sebelumnya aku tegar. Aku adalah cucunya yang kuat!
Usia ku 22 tahun dan aku tak pernah setelah lebih dari 2 tahun memeluknya,mencium pipinya. Seseorang yang dulu bahkan selalu berusaha membuat aku bahagia. Aku yang selalu dibanggakannya, walau tak jarang aku mengecewakannya.
Usia ku 22 tahun, dan aku tahu aku mewarisi segala penyakit fisiknya. Aku yang tahu bagaimana hidup penuh obat dan lelah. Aku yang mewarisi sifat keras kepalanya, aku yang mewarisi sifat cueknya.
Usia ku 22 tahun, dan aku telah kehilangan abah ku tersayang. Abah yang selama 19 tahun ini selalu setia pada cucu pertamanya yang manja dan keras kepala. Cucu pertama yang sering sekali mendengar segala keluhnya, lelahnya, namun tetap tersenyum.
Abah,, ghesti sayang abah, teramat sayang. Walau tak terkatakan namun ghesti rangkai dalam untaian doa untuk abah.
Abah, abah kini kembali. Menunggu menghadapNya. Ghesti yakin ketika abah hidup, abah sudah bijak dalam menyikapi kehidupan. Berdamai, dan mensyukuri segala pemberianNya.
--- karena semua jiwa yang hidup akan kembali kepada Penciptanya ---
Usia ku 22 tahun, dan aku harus menerima kehilangan untuk selamanya.
Usia ku 22 tahun, dan aku tahu makna dari kehilangan.
Usia ku 22 tahun, cucu pertama dari seseorang yang akhirnya meninggalkan keluarga fana. Seseorang yang mengajarkanku banyak hal. Membuat aku mencintai membaca, mencintai anak-anak, mencintai segala makna perjalanan. Membuat aku mampu berkembang melebihi pemikiran seumuranku, penuh analisis, dan juga ekspektasi yang luar biasa.
Usia ku 22 tahun, dan aku menangis untuknya. Menangis dan terus mendoakannya. Aku menangis terakhir, setelah sebelumnya aku tegar. Aku adalah cucunya yang kuat!
Usia ku 22 tahun dan aku tak pernah setelah lebih dari 2 tahun memeluknya,mencium pipinya. Seseorang yang dulu bahkan selalu berusaha membuat aku bahagia. Aku yang selalu dibanggakannya, walau tak jarang aku mengecewakannya.
Usia ku 22 tahun, dan aku tahu aku mewarisi segala penyakit fisiknya. Aku yang tahu bagaimana hidup penuh obat dan lelah. Aku yang mewarisi sifat keras kepalanya, aku yang mewarisi sifat cueknya.
Usia ku 22 tahun, dan aku telah kehilangan abah ku tersayang. Abah yang selama 19 tahun ini selalu setia pada cucu pertamanya yang manja dan keras kepala. Cucu pertama yang sering sekali mendengar segala keluhnya, lelahnya, namun tetap tersenyum.
Abah,, ghesti sayang abah, teramat sayang. Walau tak terkatakan namun ghesti rangkai dalam untaian doa untuk abah.
Abah, abah kini kembali. Menunggu menghadapNya. Ghesti yakin ketika abah hidup, abah sudah bijak dalam menyikapi kehidupan. Berdamai, dan mensyukuri segala pemberianNya.
--- karena semua jiwa yang hidup akan kembali kepada Penciptanya ---
Subscribe to:
Posts (Atom)