Aug 21, 2012

13 Agustus 2012

Usia ku 22 tahun, dan aku masih tak bisa menerima makna dari kehilangan yang hakiki.

Usia ku 22 tahun, dan aku harus menerima kehilangan untuk selamanya.

Usia ku 22 tahun, dan aku tahu makna dari kehilangan.

Usia ku 22 tahun, cucu pertama dari seseorang yang akhirnya meninggalkan keluarga fana. Seseorang yang mengajarkanku banyak hal. Membuat aku mencintai membaca, mencintai anak-anak, mencintai segala makna perjalanan. Membuat aku mampu berkembang melebihi pemikiran seumuranku, penuh analisis, dan juga ekspektasi yang luar biasa.

Usia ku 22 tahun, dan aku menangis untuknya. Menangis dan terus mendoakannya. Aku menangis terakhir, setelah sebelumnya aku tegar. Aku adalah cucunya yang kuat!

Usia ku 22 tahun dan aku tak pernah setelah lebih dari 2 tahun memeluknya,mencium pipinya. Seseorang yang dulu bahkan selalu berusaha membuat aku bahagia. Aku yang selalu dibanggakannya, walau tak jarang aku mengecewakannya.

Usia ku 22 tahun, dan aku tahu aku mewarisi segala penyakit fisiknya. Aku yang tahu bagaimana hidup penuh obat dan lelah. Aku yang mewarisi sifat keras kepalanya, aku yang mewarisi sifat cueknya.

Usia ku 22 tahun, dan aku telah kehilangan abah ku tersayang. Abah yang selama 19 tahun ini selalu setia pada cucu pertamanya yang manja dan keras kepala. Cucu pertama yang sering sekali mendengar segala keluhnya, lelahnya, namun tetap tersenyum.

Abah,, ghesti sayang abah, teramat sayang. Walau tak terkatakan namun ghesti rangkai dalam untaian doa untuk abah.

Abah, abah kini kembali. Menunggu menghadapNya. Ghesti yakin ketika abah hidup, abah sudah bijak dalam menyikapi kehidupan. Berdamai, dan mensyukuri segala pemberianNya.

--- karena semua jiwa yang hidup akan kembali kepada Penciptanya ---

0 komentar:

Post a Comment

 
;