Oct 6, 2011

Beautiful Ivy--- Chapter 9 Blooms day


Tian menghirup udara segar di daerah ini. Langkah kakinya menuju rumah tua yang selalu dikunjunginya setiap tahun, ini harinya. Dimana bunga-bunganya bermekaran. Terhenti di depan rumah, kosong. Sudah 5 tahun rumah itu kosong, pemilik lamanya sudah meninggal dan cucunya sudah pergi sejak saa itu. Lama dia berdiri terpaku di depan sekumpulan ivy. Mencoba kembali menumbuhkan kenangan lamanya, pertemuan pertamanya dengan cucu pemilik rumah. Patria.
Merunduk sebentar dan kembali tersenyum. –aku kembali, Patria. Kembali untuk kehidupan ku yang baru- ucapnya dalam hati. Tian segera pergi setelah sebelumnya melihat sebentar ke arah jam. Waktunya nenek Joe sarapan. Bergegas dan tak lagi memandang ke belakang, ketika lampu depan rumah ivy itu menyala sejenak sebelum akhirnya padam.
“Aku tak keberatan jika kau memang harus memenuhi undangan dari Joe untuk pergi ke New York.” Ucap Nenek memecah keheningan saat sarapan, mendengar itu Tian hanya mampu tersenyum dan menatap dalam-dalam mata nenek, orang yang selama ini berjasa menampung dirinya setelah kejadian 4 tahun yang lalu. Kepergian ibu Tian dan penggusuran rumahnya. “Setelah ada kepastian bahwa ibu Joe akan segera pulang untuk menjaga nenek disini.” Tian kembali mengiris kecil roti panggang dipiringnya, “Peduli dengan  semua itu! Aku masih mampu mengurus diriku sendiri Tian! Kau harus tahu itu.” Tak ada yang berani menentang nenek Joe, kecil, mungil namun tegas dan memiliki gengsi yang tinggi. Tian kembali tersenyum kecil. “Baiklah, aku mengerti nek. Tapi memang jadwal penerbanganku kesana tepat ketika tante datang. Jadi nenek bisa pulang dengan tante.” Dan setelah pernyataan Tian, nenek kembali menceritakan masa lalunya, menyaingi denting sendok dan garpu yang beradu, diselingi tawa dan canda, mereka tampak bahagia, ketika siluet kuning lembut memenuhi ruangan kecil berwarna jingga, menghadirkan kehangatan bagi jiwa Tian.
***
New York, 2011
“Tian!!!!” Sosok pria yang bertubuh sedang kini tampak melambaikan tangannya ke arah seorang wanita dengan rambut panjang tergerai yang baru saja turun dari pesawat Boeing 747 dari Indonesia. Di sebelah pria itu tampak wanita yang sebaya dengannya menggendong seorang anak perempuan manis yang berusia sekitar 4 tahun, ya, itu adalah Joe dan Dewi. Mereka menikah tepat 5 tahun yang lalu beberapa bulan setelah Dewi pulang dari progam pertukaran pelajarnya di Amerika. Ternyata Joe memang nekat, entah apa yang ada dikepalanya sampai dia mampu berbuat begitu. Orang tua Dewi yang sempat ragu akhirnya menyetujui rencana gila Joe dengan alasan, Joe sudah cukup dewasa dan berani bertanggung jawab atas semua resiko yang akan dihadapinya kelak, disamping itu, Joe sudah dikontrak dengan sebuah perusahaan asing untuk menjadi salah satu staff tetap mereka. Pernikahan yang serba spontan dan sederhana, namun dirayakan dengan penuh keceriaan, dua orang manusia yang akhirnya bersatu. Joe dan Dewi, mereka berdua lulus dengan cumlaude di fakultasnya masing-masing, dengan Dewi yang sudah berbadan dua tentu saja.
Tian memandang sambil tersenyum membalas lambaian tangan Joe, melihat keluarga kecil itu sungguh membuatnya rindu. Rindu akan kehangatan yang pernah mereka bagi ketika mereka masih duduk di bangku perkuliahan. Setelah menyelesaikan urusan d imigrasi, Tian kini sudah bergabung dalam keluarga kecil itu, bercengkrama dengan si kecil Sora. Menceritakan pengalaman di playgroup, Sora kecil masih terbata-bata menggunakan bahasa Indonesia. “Dia sulit belajar bahasa Indonesia. Aku  heran, padahal ibunya dulu bebal sekali bahasa asing. Hahahaha.” Sambil menyetir Joe kembali usil, sambil melirik ke arah istrinya yang kini mulai memerah. Suasana saat itu memang indah sehangat cuaca di luar, akhir musim semi yang hangat.
*** 
“Aku ingin keluar sebentar, Joe. Ku rasa di luar makin hangat saja. Aku ingin ke kota.” Tian tengah bersiap-siap pergi keluar, sudah tiga hari Tian tinggal di apartemen milik Joe hanya untuk beristirahat dari perjalanannya dan membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Joe, yang saat itu sedang berada di rumah hanya bisa menggeleng, dilihatnya Tian yang saat ini sudah siap untuk pergi. “Tante, aku boleh ikut?” Tiba-tiba saja Sora muncul masih dengan memakai piyamanya, “Tidak Sora. Tidak hari ini. Sekarang bersiaplah, kau harus sekolah.” Joe, langsung memasang muka serius pada Sora, melihat itu saja Sora langsung tahu dia harus apa, segera berlari menemui ibunya yang saat ini sedang menyiapkan sarapan di dapur. “Aku pergi Joe, --oh sudahlah, aku masih punya uang cadangan dari tabunganku—Aku pergi Joe.” Tian menolak pemberian Joe, sudah cukup baginya kebaikan Joe dan keluarganya. Dia sudah mandiri dan sudah bisa menghidupi dirinya sendiri walau pekerjaan yang dilakoninya masih paruh waktu dan tidak sesuai dengan bidang keahliannya. “Hati-hati. Jangan sampai pulang malam,kau sudah tahu nomor telepon apartemenku, kan? Kalau tersesat segera ke pos polisi terdekat. Oh, kau sudah membawa peta kota, kan??”Melihat Joe yang saat ini mengeluarkan petuah-petuahnya seperti menasehati anaknya sebelum pergi membuat Tian terbahak, “Aku bukan anak kecil, Joe. Sudahlah, aku pergi.”
Perjalanan Tian kali ini memang sulit, bahasa yang berbeda, jalanan yang berbeda. Hanya sekadar melihat-lihat, merasakan perubahan musim yang sudah sangat dekat, sebentar lagi liburan musim panas. Makin terlihat saja anak-anak dan remaja yang sedang bersenda gurau dijalanan, terkadang malah ada yang membaca sambil menunggu bus di halte. Siang ini Tian merasa sangat lapar, mencari tempat makanan halal cukup sulit dan menjadi penyesalan mengapa dia tidak membawa bekal saja seperti Sora. Akhirnya Tian masuk ke minimarket yang ada, membeli 3 kotak susu strawberry setelah sebelumnya membaca kandungan yang ada.
“From China??” Tanya kasir wanita yang kini melayaninya, membuat Tian sedikit terkejut, biasanya orang-orang asli sangat cuek dengan orang asing yang tidak dikenalnya, mengamati sekilas kasir wanita didepannya, dari Asia sepertinya. “No, I’m from Indonesia.” Balas Tian sambil tersenyum, “Indonesia?! The owner of this shop is Indonesian too” kasir wanita itu kelihatan cukup ramah dan senang mengobrol, “Really?” “Yeah, His name is Patria.” Sangat terkejut ketika nama Patria keluar dari mulut kasir wanita itu, Patria, nama yang sudah lima tahun ini tak pernah disebut oleh siapa pun. Nama itu kini, di New York, tempat yang sangat jauh dari yang seharusnya. “Patria?” Tian kini bertanya dengan heran, mungkinkah? Tapi dia berusaha meyakinkan itu bukan Patria yang ada dipikirannya. “Yeah, good man.” Kembali lagi kasir wanita itu berkata, “Ehm..thank you.” Tian, keluar dari toko itu dengan perasaan yang cukup galau. Kenapa setelah lima tahun, justru saat ini nama itu kembali muncul, membawa semua kenangan yang pernah dilaluinya.
Berjalan mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan susu kotak yang dibelinya. Cukup lama memang, namun akhirnya dia menemukan taman kota yang kurang terawat di pinggiran kota. Menyeruput susu kotak miliknya, menikmati perubahan waktu yang ada. “Tian?” Sebuah suara muncul, suara yang tak akan pernah dia lupakan, suara yang terakhir kalinya membisikkan sesuatu yang membuatnya sampai saat ini tak bisa melupakannya. Kejadian itu, sudah lama sekali. Khayalannyakah? Berusaha menepis itu semua, kembali menyeruput susu kotaknya. “Tian? Benar kau Tian?” Kembali suara itu muncul, membuat Tian berpikir itu bukanlah hanya sekadar khayalannya, itu nyata. Itu Patria. Menoleh dan menatap sosok itu lekat-lekat seakan dia tak akan bisa bernapas jika pria itu pergi. Tak terasa air matanya mengalir tak terbendung, nanar melihat Patria yang kini ada dihadapannya, disinikah mereka harus bertemu? “Tian?” Tak mampu berkata-kata, kini Tian hanya mampu memandang Patria. “Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Tian terbata-bata, “Kenapa kamu  muncul lagi, Patria? Kenapa??”
“Aku hanya..Aku hanya… Ini daerah tempat tinggalku.-” “-Apa kabar Tian? Sudah sangat lama. Lima tahun.” Patria memecah keheningan, kikuk. Dia tak tahu harus berbuat apa. Tian, perempuan yang dulu berusaha dilupakannya, kini muncul kembali, setelah lima tahun yang sulit, setelah kini dirinya mampu meyakinkan keadaannya sudah sangat nyaman tanpa harus kembali mengingat masa lalu. Justru kembali muncul ketika dirinya sudah merasa tenang.
***
“Aku sudah berkeluarga, Tian.” Patria mengatakan hal yang penting di tengah pembicaraan mereka, menyakitkan memang, namun Patria harus mengatakan ini, dia tak mau terus terpenjara dengan rasa bersalahnya.
“Senang mendengarnya. Itu berarti kau bisa melupakan semua kejadian itu. Semuanya.” Menjawab datar, berusaha menahan air mata dan semua kesedihannya, Tian begitu kaget, namun mampu mengatasinya.
“Tak semudah yang kau katakan. Aku benar-benar tak bisa berpikir tenang. Kau tahu, Tian. Tahun terakhir, karir, dan aku harus mendengar sesuatu yang seharusnya tak aku dengar.”
“Ibuku bunuh diri.”
“Apa?”
“Ibuku bunuh diri. Setelah dia memberikan mu informasi itu, bertengkar hebat denganku, dan satu hari kemudian dia pergi. Dia kecelakaan, menabrak pembatas jalan.”
“Aku tak tahu, sungguh. Aku turut berduka.”
“Ya, aku tahu. Tak apa itu sudah lama berselang. Aku pun turut berduka atas kakekmu. Orang yang baik dia, memberikanku hadiah bunga ivy jika bermekaran.”
“Kau, apakah kau sudah berkeluarga, Tian?”
“Hah? Apa? –” “—Berkeluarga? Tidak, aku belum memikirkannya. Aku hanya..”
“Kau…kau masih mengingat itu semua Tian?”
“Aku berusaha, tapi tetap saja. Ha, lucu memang tapi mau bagaimana lagi, sulit bagiku.”
“Aku minta maaf. Ini salahku, seharusnya aku mampu berpikir sehat.”
“Tidak ada yang harus disalahkan, lima tahun yang lalu, berbeda dari sekarang ketika kita mampu berpikir dewasa.”
“Seandainya saat itu aku bisa menerimanya, mungkin..”
“Semua sudah terjadi. Tak ada yang harus disesali. Aku pun masih bisa menjalani hidupku.” “Oh ya, rumah ivy itu menginginkan bertemu denganmu, sekedar mengingatkan jika kau berkunjung ke Indonesia. Ivy itu menunggumu.”
Tian beranjak untuk pulang, sudah cukup senja. Joe mungkin saja khawatir. Patria yang kini juga ikut beranjak dari duduknya menatap Tian yang sedang menatap kosong ke satu arah. Sebelum akhirnya melangkah pergi. “Aku pergi, Patria. Semoga kau bahagia.” Tersenyum, Tian mengucapkan ucapan selamat tinggal pada Patria. Melangkahkan kakinya menuju jalanan setapak, meninggalkan sosok Patria dibelakangnya yang hanya menatap dirinya lama-lama sebelum mengikuti jejak Tian, pulang kembali. Menuju kehidupan masing-masing yang mungkin tak seharusnya berjalan bersama. Takdir yang mempertemukan mereka, takdir pulalah yang memisahkan mereka. Sampai akhir mereka menemukan takdirnya sendiri dan kembali dipersatukan dalam waktu yang singkat, hanya untuk menyelesaikannya. Ketika penyesalan akan menjadi pilihan seorang yang tetap hidup dalam masa lalu.
Berjalan dalam diam, mencari suasana yang lain. Senja masih menggelayut di langit, memberi warna yang indah, angin menggerakkan rambut panjang Tian yang tergerai. Merasakan itu semua, membuat masa lalunya bukanlah sesuatu yang harus disesalkan. Tian mencintai Patria, dan kebahagiannya bukanlah kesedihan. Bukankah seharusnya dia bahagia dapat kembali berjumpa dengan Patria setelah sekian lama. Tak ada yang patut disesalkan.

0 komentar:

Post a Comment

 
;