Dec 15, 2011 0 komentar

My Beloved Cousin

Hmm.... Sekarang menceritakan si kecil Bill yang hobinya akhir-akhir ini makanin apa aja yang ada di genggamannya. Gak kerasa sudah 6 bulan makhluk kecil itu hidup di dunia ini, yang sekarang belum bisa bicara hanya bergumam kayak bumblebee 'ngunggggggggggggggngungggggggg' gitu.

Dilihat-lihat dalam 6 bulan ini makin panjang aja badannya dan hobi barunya yang suka manyun-manyun kalau dicuekin. Si Bill ini ternyata Kpopers juga lho, hohohohohohoho. Setelah kakaknya terkena korean fever, sekarang si adek bayi yang kena,what an awkward thing... Dia suka lagu Super Junior yang Mr. Simple, jadi kalau mau dibersihin kupingnya putar mv Mr. Simple dan hasilnya, dia bakal asyik melototin itu mv.

Di 6 bulan ini, dia sepertinya sudah mulai bosan sama Mr. Simple, karena sekarang perhatiannya beralih ke 2 PM Hands up dan Suju A-CHA. Si adek bayi juga bisa ngebedain mana obat mana air manis, jadi kalau dikasih obat hmm.... jangan ditanya, pasti berontak deh.

Ini dia photonya si dedek



Nov 9, 2011 0 komentar

Ketika Hijab Menghalangi Duniaku part 1


Namanya Sisi, gadis belia berusia 15 tahun yang selalu menutup helai rambutnya dengan jilbab panjang berwarna warni. Matanya luar biasa indah, biru laut menawan. Wajahnya bagai porcelain buatan negeri seberang. Sisi, gadis yang mencintai segala yang terjadi dalam hidupnya. Ibunya yang mengajarkan semua hal itu padanya. Wanita paruh baya yang membesarkannya seorang diri, dengan tenaga dan peluhnya.
Sisi tak pernah mengenal ayahnya karena memang tak ada yang harus dikenalinya. Dulu sekali, 16 tahun yang lalu ketika semua hal itu bermula. Ibunya masih seorang wanita belia, saat itu usianya baru 21 tahun yang mengikuti pelatihan sebagai tenaga kerja Indonesia. Dan dalam 1 tahun itu kejadian mengerikan yang akan mengubah segala hidupnya. Bukan, ibunya bukanlah seorang yang seperti itu. Wanita paruh baya itu adalah wanita yang tak akan menjual harga dirinya untuk sesuap nasi. Dia tidak akan menukar hidupnya dengan dunia yang penuh kenistaan. Dia adalah wanita yang menjaga kesuciannya, dia adalah korban dari nafsu manusia yang tak mempunyai hati nurani.
Tak ada yang membuat Sisi kecewa, hidupnya adalah hal yang dia syukuri. Fakta bahwa ibunya selalu merawatnya membuat Sisi menyadari bahwa dirinya spesial. Beruntung dia masih bisa bersekolah di sekolah negeri berkat ibunya, tidak seperti teman sepermainannya dulu yang harus membantu orang tua mereka di ladang. Kehidupan buruh tani memang kebanyakan seperti itu.
Sisi yang sudah 15 tahun menjalani hidup di desa itu sudah banyak makan asam garam kehidupan, sejak dia bisa mengerti apa yang diucapkan tetangga-tetangganya, dia tahu bahwa dia dan ibunya sering menjadi bahan olok-olok. Sisi anak pelacur, Sisi anak haram, Sisi ini, Sisi itu. Sisi sering mendengar mak Ramli bergosip dengan tukang sayur kalau bu Surti,ibu Sisi, pasang susuk, makanya ada bule yang senang dan melakukan perbuatan tak senonoh, lupa kalau si bule gak pakai pengaman jadi kebobolan. Seiring waktu berlalu, lelah juga warga sekitar bergosip tentang Surti dan anaknya.
“Heh, Sisi! Lagi apa?” Suara sapaan dari perempuan sebaya Sisi di seberang pagar. “Eh, Mi. Lagi jemur pakaian saja.” Sisi segera menghentikan kegiatannya dan menghampiri Maesara. Tersenyum senang karena sahabatnya baru bertamu lagi ke rumahnya semenjak 3 bulan lalu, maklum Maesara bekerja menjadi pembatu rumah tangga di daerah Jakarta. Sisi sering diajak, namun ibunya melarang, harus terus sekolah katanya. “Kabarnya gimana, Mi? Ya Allah, cantik sekali kamu sekarang.” Ucap Sisi seraya membukakan pintu pagar.
Maesara masuk sambil membawa keranjang buah, tapi isinya bukan buah, melainkan kain perca yang sudah tak terpakai dan ada bungkusan kecil yang disampul kertas kado cantik. “Alhamdulillah, di Jakarta seru, Si! Yang punya rumah baik sama saya. Sekarang lagi dikasih cuti lebaran haji. Hehehe.” Kata Maesara sambil masuk, setelah duduk di teras Maesara langsung memberikan bingkisan kecil yang dibawanya, “Ini buat mu, Si. Maaf ya kalau gak suka. Waktu ke Tanah Abang, saya nemu kerudung lucu, belum ada di kampung deh kayaknya. Terus ini juga kain perca dari Jakarta sama emak buat ibumu.” Sisi yang baru saja membawa nampan minuman dan cemilan untuk Maesara, terkesiap. Maesara, teman lamanya begitu baik, bahkan sampai repot-repot membawa oleh-oleh untuknya. “Repot-repot sih, Mi. Sampai dibungkus kayak kado segala. Kain percanya diterima, Mi. Ibu pasti senang, buat jahit. Makasih ya. Hehehe.” Duduk di kursi sebelah Maesara, dan membuka bungkusan kecil yang isinya kerudung pemberian Maesara.  “Gak, kok. Seneng ihh bisa ngasih sesuatu ke temen sendiri, yang suka ngasih lihat pr pas sd, hahahaha.” Maesara terbahak mengingat jaman sd dulu, dari sd kelas satu sampai kelas 4, Maesara selalu melihat pr milik Sisi.
“Masih inget, Mi? Iya, kamu sih keseringan nyontek pr saya. -” Ledek Sisi, membuka lipatan kerudung pemberian Maesara. “-Ihh, lucu Mi, kerudungnya.” Maesara tersenyum bangga, senang melihat temannya menyukai pemberian kecilnya. “Iya kan? Hehehe saya sengaja tuh milihin yang itu.” Raut wajah Sisi agak serius, alih-alih memperhatikan kerudung dia malah memperhatikan Maesara “Pasti mahal ya, Mi?” Nada bicara Sisi terlihat sedikit canggung, dia merasa tidak enak dengan Maesara yang sengaja membelikan kerudung untuknya. “Gak, tenang aja. Lagian saya sudah bisa cari uang sendiri, jadi gak perlu pusing.-” ucap Maesara sambil tersenyum, “-beda kalau kamu. Belum kerja, masih sekolah. Masih bocah. Hahahaha.” Maesara kembali usil, meledek sahabatnya, membuat Sisi hanya tersenyum dibilang bocah. Obrolan panjang dua sahabat lama itu mengalir apa adanya. Seperti waktu tak akan tergantikan lagi untuk mereka.
Oct 31, 2011 0 komentar

Menjadi yang terbaik disaat yang baik

menjadi orang yang menunggu pekerjaan itu memang menyebalkan. Tapi....semua akan ada kesudahannya :))

menjalani kesempatan dengan persiapan :D dan jadilah yang terbaik!!!!!!!!!!!!

semangat!!!!!!!!
Oct 12, 2011 0 komentar

Teriakan Bisu

Menjalani hidup sendiri itu sulit ketika seseorang beranggapan bahwa ini hidup saya dan hanya saya sendiri yang menjalaninya tidak berlaku bagi saya.

Menjadi anak pertama bukanlah sebuah kebahagiaan, bukan pula kesedihan. Bagaimana mungkin saya hanya mampu lari dari masalah ketika semua itu menyangkut hidup saya sendiri. Keputusan yang bahkan selalu diambil oleh orang tua saya. Alasan klasik, untuk kebahagiaan saya sendiri. Bagaimana mereka tahu apa yang terbaik bagi saya sementara mereka sendiri hanya mampu bicara tapi tak mampu mendengar!

Sedangkan saya, selalu berusaha untuk berpikiran positif kepada Allah, saya terus berusaha berprasangka baik. Sampai saat ini, ketika air mata ini tak berhenti mengalir. Sebenarnya saya hidup untuk apa? Ketika mereka mengharapkan saya mampu untuk mandiri, ketika itu pula mereka mengekang saya. Apa yang ada dalam pikiran mereka?! Saya tahu saya memang tak mampu tanpa mereka, tapi saya juga punya takdir.

Kini, ketika tak ada pilihan saya harus membuat pilihan. Mereka tak akan pernah mau mendengar, bahkan jika saya bersungkur pada mereka! Apa orientasi mereka?! Apa mau mereka?!

Saya hanya ingin merasakan apa yang dirasakan oleh yang lain, berusaha membiayai hidupnya sendiri. Dan satu per satu teman-teman saya pergi menjalani takdir mereka, mereka yang bebas menentukan takdirnya. Membuat keputusan yang mereka cintai.

Dan saya yakin mungkin ini akhir hidup saya, mati tanpa menentukan akan pergi kemana saya. Yang saya ingat hanya satu, ketika orang itu berkata, la tahzan, innallaha ma'ana...ghesti. Semua akan baik-baik saja.

Dan itu lah harapan saya, saya tahu Allah tak pernah tidur dan maha tahu, bahkan untuk hambaNya yang seperti saya.

Saya yang tak punya kehidupan, saya yang tak punya harapan. Harapan saya sudah lama terkubur.

Saat ini mungkin saya hanya berupaya yang terbaik. tanpa harus lagi menangisi keputusan mereka! orang yang merasa tahu apa yang terbaik bagi anaknya
Oct 6, 2011 0 komentar

Beautiful Ivy--- Chapter 9 Blooms day


Tian menghirup udara segar di daerah ini. Langkah kakinya menuju rumah tua yang selalu dikunjunginya setiap tahun, ini harinya. Dimana bunga-bunganya bermekaran. Terhenti di depan rumah, kosong. Sudah 5 tahun rumah itu kosong, pemilik lamanya sudah meninggal dan cucunya sudah pergi sejak saa itu. Lama dia berdiri terpaku di depan sekumpulan ivy. Mencoba kembali menumbuhkan kenangan lamanya, pertemuan pertamanya dengan cucu pemilik rumah. Patria.
Merunduk sebentar dan kembali tersenyum. –aku kembali, Patria. Kembali untuk kehidupan ku yang baru- ucapnya dalam hati. Tian segera pergi setelah sebelumnya melihat sebentar ke arah jam. Waktunya nenek Joe sarapan. Bergegas dan tak lagi memandang ke belakang, ketika lampu depan rumah ivy itu menyala sejenak sebelum akhirnya padam.
“Aku tak keberatan jika kau memang harus memenuhi undangan dari Joe untuk pergi ke New York.” Ucap Nenek memecah keheningan saat sarapan, mendengar itu Tian hanya mampu tersenyum dan menatap dalam-dalam mata nenek, orang yang selama ini berjasa menampung dirinya setelah kejadian 4 tahun yang lalu. Kepergian ibu Tian dan penggusuran rumahnya. “Setelah ada kepastian bahwa ibu Joe akan segera pulang untuk menjaga nenek disini.” Tian kembali mengiris kecil roti panggang dipiringnya, “Peduli dengan  semua itu! Aku masih mampu mengurus diriku sendiri Tian! Kau harus tahu itu.” Tak ada yang berani menentang nenek Joe, kecil, mungil namun tegas dan memiliki gengsi yang tinggi. Tian kembali tersenyum kecil. “Baiklah, aku mengerti nek. Tapi memang jadwal penerbanganku kesana tepat ketika tante datang. Jadi nenek bisa pulang dengan tante.” Dan setelah pernyataan Tian, nenek kembali menceritakan masa lalunya, menyaingi denting sendok dan garpu yang beradu, diselingi tawa dan canda, mereka tampak bahagia, ketika siluet kuning lembut memenuhi ruangan kecil berwarna jingga, menghadirkan kehangatan bagi jiwa Tian.
***
New York, 2011
“Tian!!!!” Sosok pria yang bertubuh sedang kini tampak melambaikan tangannya ke arah seorang wanita dengan rambut panjang tergerai yang baru saja turun dari pesawat Boeing 747 dari Indonesia. Di sebelah pria itu tampak wanita yang sebaya dengannya menggendong seorang anak perempuan manis yang berusia sekitar 4 tahun, ya, itu adalah Joe dan Dewi. Mereka menikah tepat 5 tahun yang lalu beberapa bulan setelah Dewi pulang dari progam pertukaran pelajarnya di Amerika. Ternyata Joe memang nekat, entah apa yang ada dikepalanya sampai dia mampu berbuat begitu. Orang tua Dewi yang sempat ragu akhirnya menyetujui rencana gila Joe dengan alasan, Joe sudah cukup dewasa dan berani bertanggung jawab atas semua resiko yang akan dihadapinya kelak, disamping itu, Joe sudah dikontrak dengan sebuah perusahaan asing untuk menjadi salah satu staff tetap mereka. Pernikahan yang serba spontan dan sederhana, namun dirayakan dengan penuh keceriaan, dua orang manusia yang akhirnya bersatu. Joe dan Dewi, mereka berdua lulus dengan cumlaude di fakultasnya masing-masing, dengan Dewi yang sudah berbadan dua tentu saja.
Tian memandang sambil tersenyum membalas lambaian tangan Joe, melihat keluarga kecil itu sungguh membuatnya rindu. Rindu akan kehangatan yang pernah mereka bagi ketika mereka masih duduk di bangku perkuliahan. Setelah menyelesaikan urusan d imigrasi, Tian kini sudah bergabung dalam keluarga kecil itu, bercengkrama dengan si kecil Sora. Menceritakan pengalaman di playgroup, Sora kecil masih terbata-bata menggunakan bahasa Indonesia. “Dia sulit belajar bahasa Indonesia. Aku  heran, padahal ibunya dulu bebal sekali bahasa asing. Hahahaha.” Sambil menyetir Joe kembali usil, sambil melirik ke arah istrinya yang kini mulai memerah. Suasana saat itu memang indah sehangat cuaca di luar, akhir musim semi yang hangat.
*** 
“Aku ingin keluar sebentar, Joe. Ku rasa di luar makin hangat saja. Aku ingin ke kota.” Tian tengah bersiap-siap pergi keluar, sudah tiga hari Tian tinggal di apartemen milik Joe hanya untuk beristirahat dari perjalanannya dan membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Joe, yang saat itu sedang berada di rumah hanya bisa menggeleng, dilihatnya Tian yang saat ini sudah siap untuk pergi. “Tante, aku boleh ikut?” Tiba-tiba saja Sora muncul masih dengan memakai piyamanya, “Tidak Sora. Tidak hari ini. Sekarang bersiaplah, kau harus sekolah.” Joe, langsung memasang muka serius pada Sora, melihat itu saja Sora langsung tahu dia harus apa, segera berlari menemui ibunya yang saat ini sedang menyiapkan sarapan di dapur. “Aku pergi Joe, --oh sudahlah, aku masih punya uang cadangan dari tabunganku—Aku pergi Joe.” Tian menolak pemberian Joe, sudah cukup baginya kebaikan Joe dan keluarganya. Dia sudah mandiri dan sudah bisa menghidupi dirinya sendiri walau pekerjaan yang dilakoninya masih paruh waktu dan tidak sesuai dengan bidang keahliannya. “Hati-hati. Jangan sampai pulang malam,kau sudah tahu nomor telepon apartemenku, kan? Kalau tersesat segera ke pos polisi terdekat. Oh, kau sudah membawa peta kota, kan??”Melihat Joe yang saat ini mengeluarkan petuah-petuahnya seperti menasehati anaknya sebelum pergi membuat Tian terbahak, “Aku bukan anak kecil, Joe. Sudahlah, aku pergi.”
Perjalanan Tian kali ini memang sulit, bahasa yang berbeda, jalanan yang berbeda. Hanya sekadar melihat-lihat, merasakan perubahan musim yang sudah sangat dekat, sebentar lagi liburan musim panas. Makin terlihat saja anak-anak dan remaja yang sedang bersenda gurau dijalanan, terkadang malah ada yang membaca sambil menunggu bus di halte. Siang ini Tian merasa sangat lapar, mencari tempat makanan halal cukup sulit dan menjadi penyesalan mengapa dia tidak membawa bekal saja seperti Sora. Akhirnya Tian masuk ke minimarket yang ada, membeli 3 kotak susu strawberry setelah sebelumnya membaca kandungan yang ada.
“From China??” Tanya kasir wanita yang kini melayaninya, membuat Tian sedikit terkejut, biasanya orang-orang asli sangat cuek dengan orang asing yang tidak dikenalnya, mengamati sekilas kasir wanita didepannya, dari Asia sepertinya. “No, I’m from Indonesia.” Balas Tian sambil tersenyum, “Indonesia?! The owner of this shop is Indonesian too” kasir wanita itu kelihatan cukup ramah dan senang mengobrol, “Really?” “Yeah, His name is Patria.” Sangat terkejut ketika nama Patria keluar dari mulut kasir wanita itu, Patria, nama yang sudah lima tahun ini tak pernah disebut oleh siapa pun. Nama itu kini, di New York, tempat yang sangat jauh dari yang seharusnya. “Patria?” Tian kini bertanya dengan heran, mungkinkah? Tapi dia berusaha meyakinkan itu bukan Patria yang ada dipikirannya. “Yeah, good man.” Kembali lagi kasir wanita itu berkata, “Ehm..thank you.” Tian, keluar dari toko itu dengan perasaan yang cukup galau. Kenapa setelah lima tahun, justru saat ini nama itu kembali muncul, membawa semua kenangan yang pernah dilaluinya.
Berjalan mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan susu kotak yang dibelinya. Cukup lama memang, namun akhirnya dia menemukan taman kota yang kurang terawat di pinggiran kota. Menyeruput susu kotak miliknya, menikmati perubahan waktu yang ada. “Tian?” Sebuah suara muncul, suara yang tak akan pernah dia lupakan, suara yang terakhir kalinya membisikkan sesuatu yang membuatnya sampai saat ini tak bisa melupakannya. Kejadian itu, sudah lama sekali. Khayalannyakah? Berusaha menepis itu semua, kembali menyeruput susu kotaknya. “Tian? Benar kau Tian?” Kembali suara itu muncul, membuat Tian berpikir itu bukanlah hanya sekadar khayalannya, itu nyata. Itu Patria. Menoleh dan menatap sosok itu lekat-lekat seakan dia tak akan bisa bernapas jika pria itu pergi. Tak terasa air matanya mengalir tak terbendung, nanar melihat Patria yang kini ada dihadapannya, disinikah mereka harus bertemu? “Tian?” Tak mampu berkata-kata, kini Tian hanya mampu memandang Patria. “Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Tian terbata-bata, “Kenapa kamu  muncul lagi, Patria? Kenapa??”
“Aku hanya..Aku hanya… Ini daerah tempat tinggalku.-” “-Apa kabar Tian? Sudah sangat lama. Lima tahun.” Patria memecah keheningan, kikuk. Dia tak tahu harus berbuat apa. Tian, perempuan yang dulu berusaha dilupakannya, kini muncul kembali, setelah lima tahun yang sulit, setelah kini dirinya mampu meyakinkan keadaannya sudah sangat nyaman tanpa harus kembali mengingat masa lalu. Justru kembali muncul ketika dirinya sudah merasa tenang.
***
“Aku sudah berkeluarga, Tian.” Patria mengatakan hal yang penting di tengah pembicaraan mereka, menyakitkan memang, namun Patria harus mengatakan ini, dia tak mau terus terpenjara dengan rasa bersalahnya.
“Senang mendengarnya. Itu berarti kau bisa melupakan semua kejadian itu. Semuanya.” Menjawab datar, berusaha menahan air mata dan semua kesedihannya, Tian begitu kaget, namun mampu mengatasinya.
“Tak semudah yang kau katakan. Aku benar-benar tak bisa berpikir tenang. Kau tahu, Tian. Tahun terakhir, karir, dan aku harus mendengar sesuatu yang seharusnya tak aku dengar.”
“Ibuku bunuh diri.”
“Apa?”
“Ibuku bunuh diri. Setelah dia memberikan mu informasi itu, bertengkar hebat denganku, dan satu hari kemudian dia pergi. Dia kecelakaan, menabrak pembatas jalan.”
“Aku tak tahu, sungguh. Aku turut berduka.”
“Ya, aku tahu. Tak apa itu sudah lama berselang. Aku pun turut berduka atas kakekmu. Orang yang baik dia, memberikanku hadiah bunga ivy jika bermekaran.”
“Kau, apakah kau sudah berkeluarga, Tian?”
“Hah? Apa? –” “—Berkeluarga? Tidak, aku belum memikirkannya. Aku hanya..”
“Kau…kau masih mengingat itu semua Tian?”
“Aku berusaha, tapi tetap saja. Ha, lucu memang tapi mau bagaimana lagi, sulit bagiku.”
“Aku minta maaf. Ini salahku, seharusnya aku mampu berpikir sehat.”
“Tidak ada yang harus disalahkan, lima tahun yang lalu, berbeda dari sekarang ketika kita mampu berpikir dewasa.”
“Seandainya saat itu aku bisa menerimanya, mungkin..”
“Semua sudah terjadi. Tak ada yang harus disesali. Aku pun masih bisa menjalani hidupku.” “Oh ya, rumah ivy itu menginginkan bertemu denganmu, sekedar mengingatkan jika kau berkunjung ke Indonesia. Ivy itu menunggumu.”
Tian beranjak untuk pulang, sudah cukup senja. Joe mungkin saja khawatir. Patria yang kini juga ikut beranjak dari duduknya menatap Tian yang sedang menatap kosong ke satu arah. Sebelum akhirnya melangkah pergi. “Aku pergi, Patria. Semoga kau bahagia.” Tersenyum, Tian mengucapkan ucapan selamat tinggal pada Patria. Melangkahkan kakinya menuju jalanan setapak, meninggalkan sosok Patria dibelakangnya yang hanya menatap dirinya lama-lama sebelum mengikuti jejak Tian, pulang kembali. Menuju kehidupan masing-masing yang mungkin tak seharusnya berjalan bersama. Takdir yang mempertemukan mereka, takdir pulalah yang memisahkan mereka. Sampai akhir mereka menemukan takdirnya sendiri dan kembali dipersatukan dalam waktu yang singkat, hanya untuk menyelesaikannya. Ketika penyesalan akan menjadi pilihan seorang yang tetap hidup dalam masa lalu.
Berjalan dalam diam, mencari suasana yang lain. Senja masih menggelayut di langit, memberi warna yang indah, angin menggerakkan rambut panjang Tian yang tergerai. Merasakan itu semua, membuat masa lalunya bukanlah sesuatu yang harus disesalkan. Tian mencintai Patria, dan kebahagiannya bukanlah kesedihan. Bukankah seharusnya dia bahagia dapat kembali berjumpa dengan Patria setelah sekian lama. Tak ada yang patut disesalkan.
Sep 1, 2011 0 komentar

believe ~ 2

Semakin lama aku berpikir semakin penat kepala ku. Apa yang sebenarnya harus aku lakukan dan apa yang seharusnya aku tinggalkan. Aku memang masih merasa tidak pantas dan layak untuk menjadi yang terbaik, namun setidaknya aku masih berupaya untuk terus meningkatkan kualitas diri.
Belajar (lagi) untuk bersabar, sepertinya memang sulit menjadi orang yang sabar karena ada saja suatu hal yang membuat saya 'gerah'. Bersabar bukan suatu hal yang sunnah, melainkan 'fardhu 'ain' karena bersabar itu akan meningkatkan kualitas diri. Bersabar juga bukan dengan batasan, melainkan setiap waktu tanpa terkecuali. Namun, apakah bersabar itu sama dengan pasrah terhadap nasib? Tidak. Bersabar itu tak sama dengan pasrah terhadap nasib tapi justru terus berjuang untuk merubah keadaan menjadi lebih baik, mampu menyelesaikan masalah dengan 'kepala dingin', dan lainnya. Yang pasti bersabar bukan berarti berhenti!!!


Yakinlah pada Allah, karena Allah sesuai dengan prasangka hambaNya.... :)
Dengan bersabar semua pasti akan mudah... man shabaru zhafira
Aug 25, 2011 0 komentar

Believe


Hari ini tetap dengan mendapat pembelajaran kembali. Kehidupan dan agama, berdampingan dalam kesatuan yang utuh tanpa ada cacat dimasing-masing bagiannya. Pagi ini aku belajar (selalu) untuk bersabar dan menerima semua dengan ikhlas. Bagaimana aku harus menunggu, dan berprasangka baik pada apa pun takdir yang Allah beri. Hampir menangis dan bertanya-tanya, apa memang aku tidak pantas untuk tersenyum hari ini? Betapa pertanyaan bodoh dan tidak bersyukur. Segera aku beristighfar, aku tak mau menjadi orang yang kufur nikmat. Bukan kah aku telah berazzam, berikhtiar untuk menyambut yang baik dan yang buruk? Bukan kah manusia hanya mampu berikhtiar dan Allah yang menentukan? 

Dengan itu semua aku berharap semua menjadi lebih baik. Pada saatnya pasti akan terbalas. Alhamdulillah, benar keyakinan ku, semua tuntas terbayar sudah. Betapa Allah mencintai hambaNya. Allah tak tidur, dan semua kesabaran akan terbayar lunas Terkadang aku malu, Allah terus dalam kesibukkan, namun kita manusia sibuk dalam urusannya sendiri. Tak adakah pembayaran yang layak untuk Allah? Bahkan untuk mengingatNya pun terkadang kita lupa.

Hari ini aku belajar (lagi) untuk bersyukur. Betapa menerima dengan ikhlas semua yang ada adalah sulit. Hampir semua orang, termasuk aku, sulit menerima keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Dan benar kata-kata, bahwa kita akan menikmati semuanya jika kita bersyukur, tidak perlu dicari.

malam hari ini aku belajar (terus) tentang keikhlasan dalam berjuang. Memang film itu berasal dari sebuah kelompok, namun belajar itu tidak hanya dari satu sumber, bukan? Lagi-lagi, Allah membukakan pintu rakhmatNya untuk ku, Allhamdulillah. Belajar lah aku bagaimana cara untuk membuka mata, pikiran, serta hati terhadap suatu perubahan yang tak menentang shar
i. Kita masih diperbolehkan untuk terus berkembang selama kita berpegang teguh pada lakum dinukum waliyaddin. Kita tidak berkiblat pada mereka namun kita memperkenalkan bahwa agama kita bukanlah agama tua yang tidak layak bersanding dengan mereka, bukan kah agama kita ini adalah rahmatan lil alamin? Mengapa harus kita yang malu? Mengapa harus kita yang tertinggal? 

Allah selalu membukakan hati hambaNya, dan semoga kita menjadi hambaNya yang berada dijalan yang diridhaiNya..Amiin

*untuk mengingat apa yang sudah aku pelajari dan kembali aku ingat
Aug 24, 2011 0 komentar

learn learn and learn

sometime, when i saw the other people standing next to me, there's so many questions on my head. how they can bear this situation? how they have so many opportunities better than me? am i too stupid to face it? or God never love me. what a silly questions, and how i can not to be thankfully like this.

sometime, i felt i shouldn't be here.....i'm being STUCK!!!!!!!! actually, i'm always thinking like this,,, okay, you can say i'm not a good slaver...
But even you said like that you can't feel what i felt. you just like the other guys who always talk too much than do. WTFM!!!!!!!!

i always says to my self, it's just an exam from the God to you... to be a better slaver than now, always keeping your dream....and saw, Allah will make it true....someday, in the useful time.....


don't afraid to cry....

Aug 22, 2011 0 komentar

just believe

just believe in your dream because you must to know, God never sleep and always give the best one for you, for now or soon,,,

hope is a dream that doesn't sleep
Aug 20, 2011 0 komentar

untitled

dan kegagalan bukan kah sebuah keberhasilan yang tertunda?

la tahzan innallaha ma'ana
Aug 16, 2011 0 komentar

Kuala Lumpur

Postingan yang akhirnya bisa dibilang postingan teranyar setelah postingan yang pre-order tipikal chapter 7 dan 8 dari cerita BEAUTIFUL IVY karangan saya sendiri.
Sedih dan pusing mendera karena akibat penyusunan KTI yang bebarengan dengan datangnya bulan suci Ramadhan yang akhirnya membuat saya agak sedikit terguncang dalam menjalani ibadah shaum di bulan ini.

Bisa dibilang ini mungkin menjadi postingan terakhir sebelum ujian sidang kelulusan, kenapa ya, kelulussan saja harus ada sidang. Pertanggungjawaban itu memang menyulitkan ya. Dan ALHAMDULILLAH akhirnya tulisan yang saya susun, yang mungkin suatu saat nanti akan saya posting menjadi beberapa part, disetujui oleh pembimbing tercinta saya yang sudah sangat profesional dalam bimbingan dikarenakan banyaknya asam garam yang telah dikonsumsinya.

Begitu banyak tenaga, peluh, dan kesabaran tingkat dewa yang harus dikeluarkan karena memang setelah keluar konsul itu kepala saya akan berpusing ria, ibaratnya ada burung kenari yang terbang muter-muter di kepala ini. Biasanya saya akan istirahat sejenak sebelum melanjutkan lagi.

Begitu banyak yang manis dan pahit dan asem dan asin dan umami yang dirasa ketika bimbingan dan yang pasti akan sangat banyak lagi rasa yang akan muncul saat ujian sidang...


semoga saja rasanya UMAMI bukan asem apalagi pedes......


So, sist and broth..tolong doakan ya karena kita akan menjalani keseluruhan hasil kita selama 3 tahun di kampus keperawatan.



oke, sekarang lebih baik mendengarkan musik instrument yang mengalun lembut menyesatkan.


see you

Aug 15, 2011 0 komentar

Beautiful Ivy--- Chapter 8 Lost


“Jawab aku?! Kau mencintai ayahmu kan?!” wajah Patria menyiratkan kebencian yang nyata. Kenyataan yang harus diterimanya sangat pahit. “a, a, aku..” Tian sangat kaget dengan semua ini, bagaimana Patria bisa tahu masa lalunya, bahkan hanya dia yang tahu rahasia ini. “jangan bohong padaku, Tian! Anak macam apa kau mencintai ayahnya sendiri!” Tian tak berani menatap wajah Patria yang kini benar-benar marah. “tolong hentikan..” kini Tian tak mampu menahan tangis yang sedari tadi dia tahan. Terisak tak mampu berkata-kata, harga dirinya sudah hancur. “kau! Kau seperti kecoak! Menjijikan! Kau anggap aku ini apa Tian?! JAWAB?!!!!” butuh keberanian untuk menatap mata Patria yang kini meraja dengan hebat, membuat atmosfer di ruangan kelas itu menjadi lebih sesak. “aku…..” Tian tak sanggup melanjutkannya, lidahnya seakan tercekat. “Kau anggap aku apa Tian!!!! Pelarian?!! Hanya karena namaku sama dengannya, hah?!” Napasnya memburu, wajahnya memerah, Patria tampak sangat marah, membuat Tian tak banyak berbicara, bahkan untuk membela diri, “cukup, Patria…”. “Cukup katamu?! Selama ini aku pikir kau sangat menyayangi keluargamu, dan selama ini aku tak mengapa dianggap seperti ayahmu. Karena aku pikir kau sangat menyayanginya sebagai ayah, BUKAN SEBAGAI PRIA!!!!” Raung Patria. “Patria, please…” Mohon Tian, “jangan sebut namaku! Kau tak pantas!!”.
“aku tak mampu, Patria. Aku sungguh tak mampu untuk menjelaskan semua ini padamu. Aku…..” Bibir Tian terasa tercekat, tak mampu berkata. “mengapa Tian? Mengapa kau mempermainkan aku? Aku sungguh mencintaimu.”… “maaf, Patria…aku sungguh tak mau kau tahu…”
“hmph, sekarang kau mengakuinya.”
“tolong dengarkan aku..aku mohon…”
“……”
“aku sungguh tak tahu, bagaimana kau tahu hal itu. Dan aku, aku mengakui itu. Aku memang mencintai ayahku. Dan harus kau tahu dia bukan ayahku.. dia adalah pria yang harus aku panggil ayah, yang sesungguhnya aku tak mau dia menjadi ayahku..” Tian berhenti sesaat untuk menguatkan dirinya menceritakan segalanya tentang masa lalu itu. Masa lalu yang sudah dia kubur dalam-dalam dan kini harus dia muntahkan ke permukaan. “aku mencintai Patria saat aku berusia 15 tahun, aku hanya berbeda 5 tahun dengannya Patria! Tidakkah kau mengerti!!” emosi Tian mulai membuncah seiring dengan tatapan Patria yang menatapnya jijik, bagaikan sampah. “mengapa aku harus mengerti? Kau bahkan mencintainya, padahal kau tahu dia adalah suami ibumu, suka atau tidak! Dia bahkan tidak mencintaimu Tian!”
“aku tahu itu, tapi yang aku rasakan adalah lain. Aku mencintainya dan itu lebih dari cukup. Setidaknya aku masih bisa bersama dengannya.”
“kau membuatku muak.” “tidak cukupkah kau menghancurkan ku seperti ini?!”
“kau hancurkan aku, Tian! Aku sungguh mencintaimu, tapi apa??? Selama ini kau mempermainkan perasaanku.”
“aku sudah melupakan itu semua, Patria. Sejak aku berusaha untuk mencintaimu pada akhirnya. Bukan sebagai Patria itu, tapi sepenuhnya dirimu. Sepenuhnya dirimu, Patria.”
“aku tak akan pernah percaya denganmu lagi, Tian.”. cukup lama Tian terpaku, wajahnya terus merunduk menatap lantai yang kini menampakkan bayangan Patria, bayangan pria yang sepenuhnya dia cinta. “aku pergi…percuma aku menjelaskan semua ini padamu. Kau tak akan pernah mempercayaiku.” Tian bangkit dari duduknya yang sangat lama, tubuhnya gemetaran, dia tak mampu menopang tubuh kecilnya. Hatinya hancur, kini dia kembali kehilangan, kehilangan Patria untuk yang kedua kalinya. Penglihatannya mulai kabur karena semua genangan air di matanya. –cukuplah ini semua- ucapnya dalam hati. Dan langkahnya terhenti ketika dia merasakan cengkraman kuat yang kasar di tangan kirinya, memutar tubuhnya dan detik berikutnya dia merasakan ada tubuh besar jatuh ke dalam pelukan, atau justru tubuh mungilnya yang jatuh dalam pelukan pria itu.
“mengapa Tian?” ucapan Patria dalam bisikan di telinganya, dia menangisinya. Bukan, dia menangisi dirinya sendiri, dia menangisi dirinya yang tak mampu menerima Tian apa adanya. “maaf….” Tian hanya mengeluarkan kata ajaib itu, air matanya jatuh membasahi tubuh besar Patria. Menghirup kuat-kuat aroma tubuh Patria. Aroma yang berbeda dari Patria itu. Aroma yang lebih dia sukai, namun saat ini dia hanya akan mampu mengingatnya dalam hati, karena dia tahu Patria akan pergi meninggalkannya. “mengapa, Tian?” dekapan itu semakin kuat membuat Tian sulit bernapas, dadanya sesak. Dia tahu, Patria akan pergi meninggalkan semuanya, karena dia pasti berpikiran bahwa namanya hanya akan mengingatkan Tian dengan cinta pertamanya. “aku mencintaimu, Tian. Sangat mencintaimu.”
3 komentar

Beautiful Ivy--- Chapter 7 Dark Past

“Mau tidak aku bisikan sesuatu?” Rayu Joe kepada Dewi yang membuat Tian sedikit muak, “Hey kalian! Tidak malu apa, sok mesra di depan ku?” Tian tampak sangat kesal akan sikap Joe dan Dewi yang tiada hentinya bergurau mempermainkan perasaannya. Tian sedang pusing dengan begitu banyak tugas dan hubungannya dengan Patria tidak berjalan semulus yang diharapkan karena kehadiran Joe yang selalu membuat kondisi tidak memungkinkan untuk sekedar berbicara berdua. “Tidak. Tidak cukup itu saja untuk membuatmu sedikit cemburu.” Jawab Dewi dengan pd-nya sambil tersenyum-senyum penuh arti kepada Joe. “Hahahahaha, cukup Dewi. Kasihan aku melihat makhluk itu dari tadi cemberut. Aku tak tahan akan cubitannya jika pulang nanti.” Eluh Joe pura-pura. “Ugh, menjengkelkan!” Akhirnya Tian menyerah pergi menuju perpustakaan fakultas untuk menyelesaikan tugasnya diwaktu senggang daripada harus menghabiskan waktu dengan Joe dan Dewi.
***
“Tian?” Suara terkejut seseorang melihat Tian yang sedang mengerjakan tugasnya di sudut perpustakaan.“Patria?” ucap Tian spontan ketika mendongak ke arah Patria.  “Sedang apa kau disini?” tanya Tian,
“Ini perpustakaan fakultas ku,” ucap Patria santai, berhenti sebentar kemudian melanjutkan perkataannya, “Kau lupa, fakultas ku juga tekhnik.” Ucap Patria sambil mengusap kepala Tian dengan lembut, Tian lupa kalau Patria juga dari fakultas tekhnik, lagipula Patria lebih sering berada di perpustakaan mencari bahan-bahan untuk membuat artikel di majalah kampus dan risetnya. “Aku lupa, hehe.” Senyuman simpul Tian yang manis menjadi sebuah hadiah kecil untuk Patria, Patria dengan kesekian kalinya merasa dekat dan makin menyukai gadis dihadapannya hanya karena senyuman itu.
“Berhenti tersenyum karena kau membuatku makin menyukaimu.”
“Mengapa? Bukankah kau menyukainya jika aku tersenyum untukmu.”
“Tapi disini bukan tempat yang tepat untuk membuatku tak mampu berkata-kata dan membuatku kehilangan konsentrasi.”
“Aku menyukainya. Aku menyukai kau yang tak bisa berkonsentrasi jika ada aku.”
“Kau makin pintar merayu, Tian. Ajaran Joe?”
“Frekuensi ku bertemu dengan Joe lebih banyak daripada kau, apakah dengan frekuensi itu aku tak mampu menangkap apa yang Joe lakukan? Aku mungkin secara tidak langsung menangkap caranya merayu Dwi.”
“Dan kau tahu, Tian? Itu sangat cocok dengan gayamu. Kau dan Joe.”
“Dan apa kau tahu, Patria? Itu adalah salah satu yang membuatmu tak bisa memalingkan wajah dari ku.”
“Kau..”
“Aku selesai, Patria. Aku tak ingin mengganggu konsentrasimu. Pergilah ke tempat lain, dan cari konsentrasimu itu.” Ucap Tian sambil terkekeh.
“Bagaimana jika konsentrasiku ada di sudut ini?”
“Aku akan, dengan senang hati, pergi dari sudut ini dan pindah ke sudut lainnya.”
“Aku tak akan membiarkanmu pergi.”
“Oh, ayolah. Aku ingin mengerjakan tugasku. Patria, please…”
“Baik nona cantik, aku akan mencari buku referensi dulu, lalu aku akan menemanimu disudut ini. Don’t go anywhere.”
“Promise..bogoshipeoyo, Patria.”
Mereka menghabiskan waktu sore itu dengan mengerjakan tugas dan bercanda bersama di perpustakaan. Hanya dengan bertukar pikiran dan mengobrol santai sudah bisa membuat Tian menjadi orang lain, menjadi seseorang yang lebih ceria. Ceria dalam balutan seorang Tian.
“Mengapa kau tersenyum terus, Patria. Ada yang lucu?”
“Tidak.”
“Lalu? Ada apa? Tingkahmu aneh.”
“Aku hanya ingat kalau kau sudah membaca puisi itu. Aku sedang membayangkan seperti apa kau ketika membacanya.”
“Kenapa memang?”
“Karena hanya dengan memandang wajahku saja kau sudah tersipu, apalagi membaca puisi itu.”
“Jangan bercanda, aku mana mungkin tersipu hanya dengan membaca puisi itu, bahkan burung saja tidak akan lupa daratan dengan puisi itu.”
“Yupz. Karena kau yang lupa daratan.”
“Berhentilah, Patria.”
“Kenapa?”
“Karena ini bukan tempat yang tepat untuk membuatku tak bisa berpikir sehat.”
“hahahahahaha”
Tawa Patria yang tertahan, dan senyuman Tian membuat suasana sore itu menjadi sedikit hangat. Itulah mereka berdua, sosok yang lain yang tak bisa dimengerti oleh orang lain.
*** 
Pagi itu, Joe dan Tian pergi mengunjungi makam ayah kandung Tian. Menaiki angkotan kota yang penuh sesak orang-orang lalu pindah ke damri, segera setelah itu mereka bertolak ke lembah hijau yang asri. Gundukan-gundukan hijau kini tampak menghampar luas. Begitu terawat dan asri, namun tetap saja menjadi tempat yang sepi dan anti untuk dikunjungi. “Kau yakin tak mau aku temani?” tanya Joe ketika Tian memintanya untuk meninggalkannya sendiri.  “Iya, Joe.” “Baiklah, aku tunggu di gerbang ya. Jangan lama-lama.” “Thanks.”
“Ayah, maaf aku sudah lama tidak mengunjungimu. Aku hanya berusaha untuk adil dengan kau dan Patria.” “Ayah, aku merasa aku sudah membohonginya. Namun aku mulai menyukainya sebagai Patria yang lain. Aku sudah berusaha untuk melupakan Patria, yang bahkan dia tak pernah menganggap aku sebagai seorang wanita dan memilih ibu.” “Aku ingin menceritakan semuanya, namun aku tak sanggup, aku tak sanggup untuk kehilangan untuk yang kedua kalinya, yah.” “Bisakah aku terus menjaga rahasia ini?” “Ayah, ibu semakin tak sehat. Setiap hari dia selalu menanyakan Patria. Aku tak yakin aku bisa terus membohonginya. Di satu sisi, aku tak ingin membuat penyakitnya semakin parah. Aku ingin melepaskan semua bebanku ini.” “Ayah, aku tahu bahwa kau disana sedang mempertanggungjawabkan perbuatanmu di dunia. Apakah tanggung jawabku lebih besar, yah?” “Aku sudah banyak membohongi orang-orang yang aku sayangi.”
“Kau melakukannya karena memang begitulah seharusnya, Tian.” “Joe?!” “Sabar Tian, aku tahu apa yang kau alami bukan hal yang mudah. Tapi ingatlah, aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menjagamu, sesuai janjiku pada ayahmu dan Patria. Aku tak akan membuatmu terluka.”
“Bisakah kau menyimpan semua rahasia ini?”
“Aku akan berusaha, Tian.” “Aku menyayangimu, aku sangat menyayangimu.”
“Joe, maafkan aku.” “Aku selalu membuatmu susah, aku membuatmu capek karena terus mengikutiku.” “Maafkan aku, Joe.”
“Hanya dengan inilah aku bisa dekat denganmu, Tian.” Bisik Joe, teramat pelan dan hampir tak bisa terdengar.
---
“Joe, apakah Patria akan membuatku bahagia?”
“Entahlah, bisa iya atau tidak.”
“Mengapa?”
“Karena kau seperti orang dungu jika terus mempertanyakan hal itu. Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak-tidak.--” “—Hey, aku baru sadar, kau mengenakan kemeja Patria. Kau mencuri di lemari ibumu lagi?”
“He?? Tidak,kok. Ibu memberikan hampir semua kemeja Patria yang aku sukai untukku.”
“Bahagia sekali kau?”
“Tentu saja, karena persediaan baju untuk kuliahku bertambah tanpa harus mengeluarkan uang.” “Dasar.” “Hahahahaha..--” “--Oh, ya. Bagaimana kelanjutanmu dengan Dewi?”
“Dewi? Baik-baik saja. Kau tahu, dia akan pergi ke NY. Dia dapat exchange 1 tahun di fakultas sastra. Entah apa yang akan dia lakukan disana, bahasa Inggrisnya saja carut marut.”
“tetap saja dia hebat.”
“Aku sekarang intensif mengajarkan English-nya. Hebatkan, setidaknya aku akan terus dikenang olehnya.”
 “Terlalu percaya diri kau, bagaimana jika dia kepincut bule disana? Kau akan ditinggalkan begitu saja.”
“Kalau begitu, setelah dia pulang ke Indonesia, lihat saja apa yang akan aku perbuat.”
“Jangan bilang kau akan melamar Dewi.”
“Oh, tidak. Aku justru akan menikahinya. Tentu saja persetujuan orang tuanya.”
“Otakmu memang tidak waras Joe.”
“Begitupun dirimu, Tian.”
“Well, kita impas.. :D”
***       
“Halo, apa benar ini Patria?”
“Iya, benar. Dengan siapa saya berbicara?”
“Saya ibu Tian. Kita harus bicara sekarang juga ini penting.”
“Bisa kita bicara saja di telephone, bu?”
“Tidak, ini penting. Sangat penting untuk dibicarakan ditelephone. Aku ingin kita bertemu sekarang juga. Aku tunggu di coffeeshop dekat florist.”
*tbc*
^.^ annyeong! gak kerasa sudah chapter 7 dan ternyata kelanjutanx sudah siap juga..bahagia dehh.....
dipart ini banyak kalimat yg ditulis tanpa ekspresi, kalian yg akan menentukan seperti apa mereka :) selamat membaca..
 
;