Perjalan Kertas petang ini sedikit berbeda, hujan tiada hentinya tercurah dari langit. Pasti banjir di daerah Pocin, keluhnya. Kertas memperbaiki posisi duduk di kursi Mayasari. Menghela napas sejenak. Pikirannya melayang ke daerah asalnya. Seperti film flashback, semua pertanyaan hidupnya bergumul dalam perhelatan di petang itu. Ingin rasanya dia pulang, tapi bagaimana bisa.
Bunyi nyaring telepon genggamnya mengganggu sejenak perenungannya. Dari Lembar, kekasih pujaan hatinya, walau hanya dalam hati dan penantian panjang, belum saatnya. Lembar, Lembayung Kirana namanya. Segera menekan tombol unlock dan segera membaca sms Lembar.
"Kertas! Kamu lupa ya, hari ini aku ada di LA! Kapan main?" Bunyi sms Lembar.
Hanya desahan yang keluar dari mulut Kertas. Lupa dia kalau Lembar sedang di Lenteng Agung. Biasanya dia jarang pulang kesana, hidup Lembar hanya di Kuningan, Cempaka Putih, dan Lenteng Agung. Dan Kertas tahu itu.
Jarinya kini asyik menekan tuts telepon genggamnya.
"Maaf, aku lupa. Aku sudah ada di Margonda, lagipula sudah malam. Besok saja kita ketemu bagaimana?" Balas Kertas.
Setelahnya dia kembali ke perhelatan di kepalanya. Memutar ceritanya. Astaga, semua terlalu kompleks bagi Kertas, pria berusia 23 tahun yang kini bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta. Kertas, sang Kertarajasa anak kesayangan ibundanya tercinta.
Menatap terawang langit yang mulai gelap gulita, untung saja hujan sudah berhenti.
"Ya! TERMINAL! TERMINAL!" Teriak abang kondektur. Pemberhentian akhir. Bersiap turun sebelum melanjutkan ke arah Parung, tak jadi rupanya dia ke Pocin.
Jam 19.00, masih belum terlalu malam baginya. Toh, tantenya juga pasti baru datang dari Kuningan. Lelah dia terkantuk-kantuk di angkot 03, lepas malam yang melelahkan. Kertas tak mampu tidur, tapi mengantuk. Pria melankolik yang tinggi mimpi.
"Kak Kertas!!!" Jerit Sora, sepupu kecilnya. Suatu kejutan Kertas datang berkunjung. "Kak, kak." panggil Dondon, adik Sora. Tersenyum, lalu berkumpul bersama. Merasakan kehangatan keluarga yang mulai dirindukannya setelah bekerja. Juga untuk mengalihkan pikirannya tentang Lembar. "Bagaimana kerjaanmu?" tanya Teh Murni. "Ya begitu. Kerjaan perawat saja. Ada senang, ada capek juga." jawab Kertas datar, "Tapi seneng kan dapet gaji?" Goda Om Danar, suami Teh Murni, sambil terkekeh. "Itu sih iya, Om." jawab Kertas ikut terkekeh. Malam yang menyenangkan dan hangat. Mengakhiri hari Kertas itu.
***
"Katanya jam 9?!" Ucap gadis manis di depannya. Berpakaian simple tanpa memperhatikan model terkini, dengan rambut ikat kuda dan poni depan. Tampak muda dan sporty. Kau tak pernah berubah Lembar, bisik Kertas dalam hati.
"Aku ketiduran habis subuh. Maaf ya." ujar Kertas membela diri. Diliriknya gadis yang sebaya dengannya. Semakin manis saja, walau tiada tanda-tanda fisik dia berubah. Masih tetap kecil, mungil, namun memiliki semangat yang tinggi, dan mendominasi, seperti dirinya. "Kan kau sudah tahu, tidak baik tidur setelah subuh itu. Lagipula kau kan janji jam 9, bukan jam 11." kini Lembar menasehati sambil berkacak pinggang.
"Maaf, aku benar-benar ketiduran." Kertas memasang raut menyesal. Tapi tak ada yang harus disesalinya, toh dia sangat bahagia bertemu Lembar. Mereka meracau dengan pengalaman baru, masa lalu, rencana, dan ambisi mereka. Lembar dan Kertas, sepasang anak manusia yang sedang menikmati kebahagiaan dari tulusnya persahabatan dan cinta.
"Bagaimana project cerpenmu itu? Berhasilkah?" tanya Lembar, dia tahu ambisi terbesar Kertas adalah menerbitkan semua karya-karyanya, buah pemikirannya. Yang ditanya hanya diam, mengangkat bahu sambil terus asyik mengunyah. "Berarti gagal ya?" tanya Lembar lagi, penasaran. "Setidaknya kau membaca karyaku kan?" balik Kertas. "excuse? Atau bentuk lain dari pupusnya harapan?" tanya Lembar. Bakso Malang pedas yang dipesannya sedari tadi belum disentuhnya, menatap tajam pria dihadapannya. Menanti jawaban pasti. "Hei,did you hear me, Kertas?!" "Iya. Itu bukan hilang asa melainkan bentuk excuse yang memang aku peruntukkan untuk ku sendiri. Sekarang aku hanya berpikir, selama ada yang membaca, aku akan terus menulis." ujar Kertas, to the point. "Walau pun itu hanya aku?" tanya gadis manis itu, menatap lama-lama. "though it's only you." jawab Kertas.
"Oh ya, bagaimana nasib Luna? Katanya kau sempat jalan dengannya?"
Serentetan pertanyaan panjang dari Lembar, selalu begitu. Seakan dia tak pernah puas akan informasi tentang Kertas.
"Luna? Haruskah dijelaskan? Tak akan percaya kau tentang ceritaku. Luna itu sudah aku anggap adik. Teman bertukar pikiran, layaknya kau. Tapi tak sama." ujar Kertas, tak sama karena aku mencintaimu. "Hmm... Sayang sekali kau tak lanjut dengannya. Dia baik, cantik, pandai, pintar masak pula." "Kau saja yang suka sama dia! Laki-laki itu suka dengan wanita yang memang bisa membuatnya luluh." Kertas bicara dengan nada yang agak tinggi, sedikit kesal dengan Lembar, selalu saja memuji Luna, seakan sengaja menjodohkan dirinya dengan Luna. "Yahh, mungkin." ujar Lembar sambil mengangkat bahu.
***
Mata Kertas menatap lama ke arah Lembar, sudah waktunya dia pergi menuju rutinitasnya, begitu pun Lembar. "Hati-hati! Jangan lupa sms kalau sampai ya!" Jerit Lembar ketika Kertas menaiki Mayasari. Hujan rintik-rintik saat itu. Kertas hanya melambai. Dilihatnya Lembar yang masih mengamati kendaraan umum itu, walau hujan mulai deras.
Kembali Kertas berujar dalam hatinya, aku akan meminangmu suatu saat nanti.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment