Apr 13, 2011

Beautiful Ivy--- Chapter 3

Semingggu sudah, tak ada hal – hal yang berbeda, semua tenang adanya tanpa kejutan-kejutan kecil yang dapat membuat hal kecil menjadi terlihat besar. Wajah kedua anak manusia itu masih saja masam tanpa ada perubahan yang berarti. Dilihat oleh sebagian besar anak jurusan arsitek dan beberapa anak teknik sipil. Bagaikan medan pertempuran, keduanya menyiratkan wajah serius yang tak dibuat-buat. Papan hitam putih di meja kecil di hadapan mereka menjadi saksi bisu keganasan kedua anak manusia itu, Tian dan Joseph sedang mengalami hari yang sulit belakangan ini, hidup perkuliahan mereka tak seperti yang mereka harapkan atau malah mereka impikan sebelumnya, dan inilah cara untuk mengatasi segala kegalauan mereka,catur.
Tontonan yang cukup mengundang penasaran orang-orang, baik yang mengerti atau tidak. Tanpa sepatah kata pun Tian dan Joe menjalankan bidak-bidak itu dengan kejam. Bunyi hentakan dari setiap bidak terkadang menggetarkan bidak-bidak lain yang berdiri kokoh di kotak-kotak kecil berwarna hitam putih itu. “Check mate!” teriak Joe, memecah keheningan. Terkejut dengan yang terjadi, tiba-tiba Tian menjerit liar, membuat penonton dan bahkan sang pemenang terkejut dibuatnya.
“Sabar, Ti. Sudah waktunya kau mengakui kehebatan Joe, hehe” ucap wanita mungil yang manis di sampingnya, Dewi. Kekasih baru Joseph, dan memang baru, baru pertama kalinya Joseph menyatakan cinta kepada seorang wanita, setelah 20 tahun kehidupannya dan hanya mencintai sosok ibu serta neneknya, ditambah Tian dan Ibu Tian tentu saja, setelah itu tak ada yang lain lagi. Bahkan Tian sendiri heran, sejak kapan Joe menyukai Dewi. “Yeah, mungkin harus begitu.” Keluh Tian, dengan ratapannya yang dibuat-buat. “Pertama kalinya aku menang. Dan kau tahu, aku sangat bahagia.” Joseph, yang selalu kalah oleh Tian dipermainan caturnya, akhirnya menang. Wajahnya terlihat sangat berbinar. “kau gapapa kan Tian?” tanya Joe selanjutnya, Joe merasakan ada hal yang ganjil di diri Tian. Bukan hal biasa Tian langsung menerima suatu kekalahan, hidupnya adalah perlawanan dan kemenangan, begitulah yang ada dalam benak Joseph untuk menggambarkan sosok Tian. “Tak apa. Tak usah dipikirkan begitu, Joe. Ini hanya sebuah permainan.” Ucap Tian datar. “Sudahlah, aku pergi duluan ya..ada banyak hal yg harus aku urus hari ini. Bye..” lanjutnya, sembari merangsek pergi dari bangku kantin biru, meninggalkan 2 anak manusia yang mulutnya kini menganga menyaksikan keanehan hari itu. Tian pergi tanpa meninggalkan kehebohannya, bahkan terlihat sedikit cool.
***
“Permisi. Permisi.” Salam yang tak manis untuk didengar oleh orang-orang yang menganggap dirinya mencintai kesopanan, Tian dengan seenaknya mengucapkan kata itu dengan agak keras, agar sosok ibu besar itu menoleh padanya. “iya…ada apa?!” ucap ibu besar tsbt dengan ketusnya. “apa mahasiswa bernama Patria itu sudah mengambil ktm-nya?” tanya Tian langsung tanpa basa-basi, “oh, sudah. Baru saja. Kira-kira 20 menit yg lalu.” Jawabnya. “dia menerima pesanku?” “pesan apa? ---- oh, ya aku ingat. Belum aku sampaikan, aku lupa nona manis.” Perkataan ibu besar ini enath disengaja atau tidak tapi membuat Tian ingin menghempaskan tinjunya ke perut bergelambir orang yang ada dihadapannya. “hmph….”
***
“Apa yang membuatku bodoh?” tanya Tian “hmmm…entahlah. Wajahmu, cara berpakaianmu, tingkahmu, pola pikirmu, sikapmu, mungkin itu.” Jawab Joe sekenanya dan langsung mendapat ciuman hangat dari jari-jari Tian yang menyebabkan lengannya bertanda biru. Perjalanan pulang yang cukup menyengsarakan karena ternyata uang mereka sudah habis untuk membeli bunga mawar, hadiah Joe untuk ibunya yang datang hari ini. Tian sangat ingin melihat Joe senang hari ini,hari dimana ibu Joe datang untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir. Kelupaan memang menyergap mereka pada pagi hari, namun dalam 5 jam berikutnya ingatan mereka berangsur-angsur pulih dan langsung saja pergi meninggalkan kuliah terakhir untuk membeli 1 buket bunga. “yahh, mungkin kau memang tampak bodoh, Tian. Tapi kau baik. Terima kasih ya…” ucap Joe memecah keheningan, matanya tak mampu menatap sahabat lamanya itu, hanya terpaku melihat buket bunga yang digenggam kedua tangannya. “haha, sama-sama Joe, kau juga baik. Sangat baik malah.” Jawab Tian tulus.

0 komentar:

Post a Comment

 
;