Anak itu melangkah pergi tanpa tahu harus kemana, air matanya kini membahasi seluruh pipinya, membuyarkan pandangannya. Tak ada lagi mimpi yang pernah dia pupuk dalam hatinya, semua hancur ketika disadarinya bahwa orang tuanya tak benar-benar memikirkan perasaannya. Langkah kakinya terhenti ketika dia sadar, yang ada dihadapannya adalah jalan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Dihadapannya, terhampar luas bukit hijau nan indah dengan satu pohon ek yang menjulang seolah merajai hamparan bukit itu, dilihatnya pagar kayu usang yang mengelilingi sebagian bukit. Matanya nanar melihat itu semua. Bukan ini yang ingin aku temukan, aku ingin pergi ke tempat yang jauh, sangat jauh, tempat dimana ayah dan ibu tak akan pernah bisa menemukanku, pikirnya.
“Hey! Awas!!” Terdengar dari arah berlawanan seseorang berteriak, pada dirinyakah, atau orang lain? Matanya terlalu kabur untuk melihat dengan jelas. BRUUKK!!
“Aduhhh……….” Ringis seseorang, sebaya dengan dirinya. Buru-buru dia usap air matanya, dan akhirnya dia dapat melihat sosok yang baru saja terjatuh. Anak perempuan berusia sekitar 13 tahun, jatuh terduduk, dan terlihat sedang mengelus punggungnya. “Kau itu tuli ya?! Aku sudah menyuruhmu menyingkir! Sepedaku itu remnya blong!” kembali anak perempuan itu berteriak padanya. Bukannya membalas perkataan anak perempuan itu, dia hanya melihat nanar. “Hey!” Ucap anak perempuan itu dengan nada tinggi, “Hmm…apakah kau tak bisa mendengarku?” suara anak perempuan itu kini menjadi lebih lunak, sembari menggunakan isyarat kearah telinganya, wajahnya menyiratkan rasa bersalah. “Apa kau bicara padaku?” kini giliran dia berbicara, “Maaf pendengaranku terganggu. Tunggu aku ambil alat bantu dengarku dulu.” Kini tangannya dengan cekatan merogoh saku celana jeansnya untuk mengambil alat bantu dengar yang sempat dia lepas dari rumah. “Kau boleh bicara lagi. Maaf.” Lanjutnya sambil tersenyum pada lawan bicaranya, dia sedikit merasa bersalah jika benar dialah yang menyebabkan anak perempuan itu terjatuh. “Berapa usiamu?” Tanya anak erempuan itu padanya, “Apa?” tanyanya tak percaya, mengapa justru menanyakan usia, sedangkan mereka tak pernah kenal sebelumnya. “Berapa usiamu?” ulang anak perempuan itu, “11 tahun.” Jawabnya, dia tampak keheranan. “Kenapa kau tampak lebih tua dari umurmu?” pertanyaan aneh kembali dilontarkan anak perempuan itu, membuatnya tidak nyaman, “Aku tidak tahu.” Ujarnya mengangkat bahu. “Kau tahu usiaku sudah 13 tahun, tapi aku terlihat lebih muda darimu.” Kini anak perempuan itu justru membuat pernyataan yang sulit dicerna, siapa peduli usianya lebih muda atau lebih tua. “Lalu?” Tanyanya, “Karena kau begitu tampak tua, kau pantas menjadi pengantinku.” Ucap anak perempuan itu sambil berlalu membawa sepedanya. Meninggalkan sosok yang terpaku tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun.
***
10 tahun kemudian
“Ini tahun terakhirmu, ibu harap kau dapat lulus. Bekerjalah disini, tak perlu kau pergi ke luar daerah.” Perkataan ini adalah perkataan yang kesekian kali dia dengar. Dia lelah mendengar semua itu, sejak dulu dia diharuskan mengubur semua mimpi-mimpinya. “Kau dengar ucapanku kan, Dan? Jangan pernah kau sengaja melepas alat bantu dengarmu saat aku berbicara.” Kata-kata ibu bagai mata pisau yang tajam, selalu saja menghunus tanpa kenal ampun kearahnya, “Contohlah adikmu. Dia selalu, entah bagaimana caranya, membahagiakan ibu dan ayah.” Lanjut ibu. Dani sangat menyesal, mengapa dia harus ikut sarapan bersama. Dia seharusnya sudah mengetahui hal apa yang akan terjadi ketika dia berani menampakkan wajahnya di depan ibu dan ayah. Dan inilah yang terjadi.
“Aku mendengarkan, bu.” Ucapnya kelu. Roti yang tadi ingin segera dia makan menjadi tak berguna, nafsu makannya sudah hilang, cepat-cepat dia berdiri untuk pamit pergi. “Aku pergi dulu,bu. Ada kuliah pagi hari ini.” Setelah mencium tangan kanan ibunya dan mengucapkan salam, Dani pergi.
Tak ada kuliah hari ini, namun lebih baik dia pergi ke kampus dibandingkan berada di rumah yang semakin hari semakin seperti neraka. Anak tak berguna, pikirnya. Dibandingkan adiknya, Dani memang bukan apa-apa, adiknya bisa merasakan kuliah di tempat yang ia sukai, sedangkan dirinya, hanya cukup puas di perguruan tinggi negeri di daerahnya. Tahun ini semakin membuatnya merasakan kehidupan kelam, nilai-nilainya anjlok, tak satupun yang bisa membuatnya bangga, bahkan hamper semua dosen menanyakan perihal tentang nilainya.
“Kenapa nilaimu turun, Dan?” Tanya seorang dosen mata kuliah yang mengajar Dani, dan Dani hanya mampu menjawab “Entahlah, mungkin aku jenuh.”
“Hey, wajah tua!” Teriak seseorang membuyarkan lamunannya. Dia menoleh ke sumber suara. Tampak sosok wanita muda berusia sekitar 21 tahun, sebaya dengan dirinya. “Aku?” Tanya Dani, heran. “Yup! Siapa lagi kalau bukan kau. Kau tak mengenaliku?” rentetan kalimat yang keluar dari mulut wanita muda itu menyiratkan kalau diia mengenali Dani, sangat lama. “Tidak, aku tak pernah mempunyai kenalan seperti anda.” Ucap Dani, berusaha sebisa mungkin menunjukkan kesopanannya. “Tapi kau memiliki kenalan yang pernah memberi gantungan kunci sayap itu, 10 tahun yang lalu, kan?” ujar wanita itu, sambil menunjuk ke arah gantungan kunci berbentuk sayap di tas Dani, pemberian anak perempuan yang usianya berbeda 2 tahun darinya. “Apakah kau, anak perempuan itu?” kini Dani bertanya untuk memastikan bahwa wanita itu adalah anak perempuan yang pernah ditemuinya di bukit hijau. “Binggo! Tepat sekali.” Jawaban yang ditunggu oleh Dani, “Aku adalah anak perempuan itu, yang berusia 2 tahun lebih tua darimu.” Lanjutnya.
“Bagaimana bisa kau ada disini?” Tanya Dani lagi, dia penasaran bagaimana wanita itu bisa menemukannya. “Aku bekerja di perusahaan mobil di daerah ini, di bagian audit.” Ujarnya “Kau heran?” “Sedikit.” Ucap dani sambil mengangkat bahu. Tiba-tiba saja wanita muda itu mengajak Dani untuk menemaninya minum kopi di coffee shop, “Kutraktir kau kopi bagaimana?” Tawaran menggiurkan disaat dia butuh sesuatu yang dapat membuatnya melupakan masalah di rumah. Dani tak menolak kesempatan itu, segera dia mengiyakan ajakan wanita muda itu.
“Aku belum pernah tahu namamu.” Ucap dani setelah menyeruput hot cappuccino miliknya. “Aku juga belum tahu namamu. Kau masih menggunakan itu?” Dani tahu kemana arah pertanyaan wanita muda itu, pastilah kea lat bantu dengarnya. “Ya, kalau aku tak menggunakan ini aku tak bisa mendengar perkataanmu. Haha.” Ujar Dani diselingi tawa kecil yang sedikit dipaksakan. “Maaf, bukannya aku bermaksud..” belum selesai wanita itu bicara Dani seudah memotong pembicaraan “Tak apa. Lagipula kau mengetahui ini sejak lama. Toh aku pun berhutang padamu akan traktiran ini.”
“Tak perlu kau anggap ini hutang, aku yang mengajakmu.” Ucap wanita itu datar. “kau ternyata masih sama seperti yang dulu, tak punya mimpi, padahal aku berharap sayap itu akan membantumu terbang meraih mimpimu.” Lanjutnya lagi, menatap lekat-lekat pria yang ada dihadapannya.
“Apa? Kenapa?” Dani hanya mampu mengeluarkan dua kata itu sebagai kalimat tantangan. “Apa? Kenapa?” ulang wanita itu. “Sudahlah lupakan,ohya, namaku Kyara.” Ucap wanita itu dengan mantap, nada bicaranya sedikit tinggi dan terdengar tegas, “Namaku Dani.” Balas Dani sekenanya. “Aku pergi dulu ya, jam bebas di kantorku sudah habis. Kapan-kapan kita bertemu lagi. Dah, Dani.” Kyara segera berdiri, merapikan blazer dan rok span selutut yang dikenakannya kemudian pergi meninggalkan Dani.
***
Sudah hampir 2 minggu sejak pertemuannya dengan Kyara. Dani seperti mendapat dorongan semangat, sayap itu membawanya kepada wanita ceria yang tak kenal lelah. Kyara selalu datang disaat Dani membutuhkannya, itulah Kyara, hanya dengan melihat senyumannya membuat Dani kembali bersemangat. Hingga suatu ketika kejadian itu datang.
“Ada apa dengan saya,dok? Saya sakit apa?” Tanya Dani, ada sedikit nada khawatir didalamnya. Sudah 2 minggu Dani mengeluh sakit pada kepalanya. Sakit itu tak dapat diabaikan, walaupun minum pengurang rasa nyeri. “Saya belum tahu pasti, setelah hasilnya ada tolong kemari lagi. Saya harus memastikannya sebelum saya diagnosa.” Jawab dokter. Dani hanya bisa mengangguk pasrah, hidupnya tak akan lama lagi pikirnya, dari sekian film sedih yang pernah ia tonton, biasanya sakit kepala tak tertahankan adalah kanker otak atau apapun itu,yang membuatnya tak akan hidup lama.
“Ada apa, Dan?” Tanya Kyara, mereka kini sedang berada di coffee shop. Kyara tampak panik karena pria dihadapannya hampir selalu melamun dalam obrolan mereka. “Ah, tidak apa-apa kok.” Ucap Dani sambil tersenyum, “Maaf ya. Kyara. Aku tidak konsen.” Lanjutnya. “Apa ada sesuatu yang kau tutupi dari aku?” Tanya Kyara lagi. “Tidak. Tidak ada yang aku tutupi. Toh kau akan tahu kalau aku berbohong kan?” ujar Dani. Kyara memang selalu tahu jika Dani berbohong, dan terus menerus mencecarnya dengan banyak pertanyaan tanpa henti sampai Dani mau bercerita. “Bohong!” jerit Kyara “Kau bohong padaku! Aku tahu kau bohong!” Kyara kini cemberut, wajahnya manis jika dia sedang marah, sering sekali hal ini justru membuat Dani tersenyum. “Kau tahu, kalau kau seperti itu kau manis sekali. Aku justru ingin kau seperti itu.” Dani tertawa renyah, melihat hal itu Kyara menghentikan tingkahnya, “Kau menyebalkan! Aku pergi” Kyara segera mengambil tasnya dan beranjak untuk pergi. Wajahnya ia tekuk, tampak sekali ia marah besar. “Hey,” panggil Dani sambil memegang lengan kanan Kyara untuk menghentikan langkahnya, “jangan lupa kau yang bayar ya?” goda Dani sambil tersenyum penuh kemenangan, hal ini semakin membuat Kyara jengkel. “Keterlaluan kau, Dani!!”
***
Hujan membasahi bumi yang kini berselimut duka, setidaknya dalam kumpulan manusia berpakaian hitam tanda berkabung. Terpatri jelas namanya, Dani Prasetyo. Ya, Dani meninggalkan keluarga dan Kyara dengan begitu cepat. Hanya dalam waktu 2 bulan, wajah ceria yang dulu tampak kini terbujur kaku tak bernyawa. Kain putih itu telah membungkusnya, mengantarnya ke alam yang berbeda. Kumpulan manusia itu mengantar untuk yang terakhir kalinya, perlahan sebagian pelayat pulang, meninggalkan gundukan tanah merah yang basah karena hujan. Kini hanya tinggal keluarga Dani dan Kyara. “Kami akan pulang, Kyara.” Ujar ibu Dani, “Kami harus berada di rumah secepatnya. Masih banyak yang akan datang.” “Tentu, tante. Kalian pulang lah, aku masih ingin disini.” Kyara tersenyum simpul menatap ibu Dani, wajah ibu tua itu tampak lelah, sangat lelah dan terlihat sedikit tak percaya, anak pertamanya harus pergi secepat itu. Tubuh tua itu dipapah oleh anak perempuan yang berusia sekitar 5-6 tahun lebih uda dari Kyara, itu adalah Sanya, adik kebanggaan Dani dan juga rival terberat Dani dalam menaklukkan hati orang tuanya. Sanya tak banyak bicara dalam acara pemakaman itu, matanya nanar, kakak satu-satunya telah pergi untuk selamanya. Kyara tahu, Sanya baru saja datang dari Kuala Lumpur menggunakan penerbangan pertama, Sanya yang selalu diceritakan Dani sebagai anak emas keluarga, tak seperti dirinya. Kyara lalu menatap wajah sang ayah, wajahnya mirip sekali dengan Dani, mungkin jika Dani hidup lebih lama dan bertambah tua, wajah ayahnya akan terpeta jelas pada wajah Dani.
Tahukah kau Dan, mereka walau tak menampakkannya, mereka menyayangimu, hanya mereka tak pernah tahu cara mengerti dirimu. Ujar Kyara dalam hati.
“Kami permisi, kak.” Ucapan Sanya sangat datar, seperti terpukul akan kematian Dani, sambil memapah ibunya, Sanya melangkah pergi meninggalkan pemakaman menuju pelataran parker. “Kami pergi dulu, Kyara. Terima kasih, dan berhati-hatilah.” Ucap ayah Dani, lalu menyusul kedua orang di depannya. Setelah ketiga orang itu sudah tampak jauh, Kyara terduduk di samping gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Dani Prasetyo. “Seandainya kau melihat itu semua, Dan. Kau mungkin akan mengerti. Aku tahu kau mengerti tapi kau urungkan pikiran itu karena perasaanmu.” Berhenti sejenak untuk menarik napas dan menahan air matanya agar tidak jatuh, kemudian melanjutkan perkataannya, lembut dan berbisik “Kau tahu kau dicintai, Dan. Kau tahu kau tak sempurna karena pendengaranmu, namun kau tetap dicintai. Kau tahu kalau disekitarmu, semua mencintaimu. Kau pasti tahu semua teman dunia mayamu juga sangat mencintaimu. Kau tahu, alasan mengapa kau memberitahuku password seluruh akses dunia mayamu kepadaku? Itu karena kau ingin memperlihatkan betapa kau sangat dicintai mereka. Kau juga pasti tahu mengapa kau dicintai? Itu karena kau sangat spesial. Dan kau juga pasti tahu, aku sangat menyayangimu. Aku menyayangimu, Dan. Dan itu akan selalu ada, karena kau separuh sayap ku.” Kyara menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dirinya sudah tak kuasa menahan tangis, namun tak mampu untuk mengeluarkannya. Hanya tetes air mata, setelah itu kering.
“Tenanglah di alam sana, Dan. Aku tahu kau tak pernah berusaha untuk mencelakai dirimu sendiri. Aku tahu ini adalah kecelakaan, karena kau lupa memakai alat itu. Maafkan aku, Dan. Aku tak berada disampingmu saat itu. Tenanglah, Dan. Aku akan terus mendoakanmu.” Kyara melangkahkan kaki meninggalkan semuanya, meninggalkan pemakaman, meninggalkan kehidupan masa lalunya yang kini ikut pergi bersama Dani.
EPILOG
“Pak Dani.” Tanya seorang tua sambil berlari kecil menghampiri sosok muda, sebaya dengan anaknya pikirnya. “Ya betul. Apa Bapak yang bernama Pak Bo?” Ujar anak muda itu ramah, usianya masih muda tapi setelannya parlente dan berwibawa, ciri anak kota sekali. “Iya, betul. Senang bertemu anda. Ini gedung lamanya, pak.” Ucap pria tua bernama Pak Bo itu. Dani tersenyum dan melanjutkan pembicaraannya, “Ya, saya sudah sempat berkeliling, gedung ini berbahaya, Pak. Tolong berhati-hati. saya lihat banyak bagian yang sudah rusak.” Dani saat ini bekerja paruh waktu di perusahaan konstruksi sebelum lulus, ini pertama kalinya dia melihat sendiri pembangunan bangunan tua yang sudah tak layak huni. “Iya, pak. Tenang saja, disini para tukang sudah biasa.” Pak Bo berusaha meyakinkan Dani, “Tetap saja harus hati-hati, pak. Harus memperhatikan keselamatan juga.” Ujar Dani. Dia tahu Pak Bo adalah mandor handal dan berpengalaman, namun tetap saja harus diingatkan, bisa saja Pak Bo khilaf, lupa kalau harus menjaga pekerjanya agar tetap selamat. “Kalau begitu saya mau pergi keliling dulu, Pak. Permisi.” Dani pamit untuk melanjutkan melihat gedung tua itu, sebelum pergi sebentar untuk shalat dhuhur.
“AWAS PAK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” jerit seseorang mengingatkan, namun Dani hanya mendengar samar-samar. Tersadar lupa akan alat bantu dengarnya, buru-buru Dani merogoh kantongnya, tak ada hasil. Alat bantu itu tertinggal di tempat wudhu. “AWAS PAK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” jeritan yang terdengar samar itu terdengar, Dani sama sekali tak mampu mendengar. Ketika Dani menoleh ke belakang tampak truk dengan kecepatan penuh menuju tikungan tempat ia berada, seketika itu pula tubuhnya dihantam keras. Dani merasa kesakitan yang luar biasa, matanya terus terpejam menahan perih.
Orang-orang yang berada di lingkungan pembangunan itu segera menghampiri, menyaksikan sosok yang sudah tak bernyawa lagi, Dani sudah pergi untuk selamanya. Pak Bo segera menelpon ambulance, namun usahanya sudah sia-sia, Dani sudah tak bernyawa.
0 komentar:
Post a Comment