Chapter 4
You’re great!
Semenjak menemukan KTM milik seorang mahasiswa bernama Patria, hari-hari Tian dipenuhi rasa penasaran yang semakin lama semakin tinggi. Tak kuat membendung hasrat ingin bertemu sosok bernama Patria itu, Tian nekat menanyakannya kepada seniornya yang hanya berbeda 1 tahun dengannya. “Patria??” ulang sang senior,setengah heran. “Iya, Patria. Patria Alhabsyar. Mungkin anak tekhnik, hanya saja aku tak tahu tekhnik apa.” Tian menjelaskan, sedikit skeptis dalam gerakan tubuhnya. “Yahh, aku tahu sih ada yang bernama Patria. Cuma aku tak tahu ada berapa Patria yang kuliah disini.” Ucap senior itu dengan ragu-ragu, wajahnya diangkat tinggi-tinggi, matanya sedikit menerawang, mungkin sedang berpikir, Patria yang mana yang dimaksud Tian. “Oh, ayolah. Patria nama yang jarang ada bahkan mungkin hanya dia yang bernama Patria disini.” Ucap Tian agak sedikit memaksa, “Mengapa kau sangat ingin tahu, Tian? Setahuku kau tak akan pernah peduli dengan hal-hal seperti itu.” Sembari mangangkat bahunya, ia menatap heran juniornya yang ada dihadapannya. “Entahlah, penasaran saja.” “Memang kau pernah bertemu dengannya? Atau kau kenal dengannya?” selidik sang senior, “Tidak.” Jawab Tian singkat. “Aneh. Dasar babo!” ejeknya.“hey!! Jangan menyebutku babo! Enak saja kau! Dasar baka!” balas Tian, “hey!! Dasar kau junior tak tahu diri!”. Mereka mulai memainkan tangan-tangan mereka untuk menemukan kepala masing-masing. “hahahahahahahahahahaha!!” tiba-tiba tawa Tian terlepas, itulah Tian, saat dia mulai dengan ledekan-ledekannya, dia malah akan tertawa, menertawakan kebodohan dirinya dan orang yang diajaknya berbincang atau saling melempar ledekan. “Hmm…babo yeoja kau, Tian. Baiklah aku beritahu kau tentang Patria yang aku tahu.” Kata sang senior, yang mungkin sebenarnya ingin segera mengakhiri tawa liar Tian. “Betulkah??” Tian mengerjap tak percaya, senior didepannya akhirnya menyerah. “Yupz. Dengarkan baik-baik karena aku tak akan mengulang.” “Baiklah senior baka.” Ledek Tian pada seniornya sembari tersenyum mengakhiri ucapannya -- “Auchh..” jitakan kecil tepat mengenai kepala Tian. “Diam dan dengarkan, babo yeoja!”—dia melanjutkan, “Patria itu anak tekhnik mesin, yahh seangkatan denganku. Pernah sih sesekali aku ngobrol dengannya. Orangnya pendiam, cukup pandai dijurusannya. Anak yang rajin menurutku.” Langsung berhenti melihat Tian yang dengan mengerikannya menatap lekat-lekat dirinya, dengan pandangan seperti seekor kucing yang menunggu dipungut. “ihh..” tatapnya sedikit jiijik ke arah Tian. Dengan menarik lengan seniornya Tian meminta “Kenalkan aku padanya, senior. hehe”
***
“Jadi kau yang menemukan KTM ku?” tanya seorang pria yang tengah duduk di bangku panjang kantin bersama seorang wanita yang baru saja dia kenal. “Yupz.” “Terima kasih sudah menemukannya, tanpa itu, hhh..untung saja kau menemukannya, jujur saja aku malas untuk mengurusnya lagi. Pasti akan sangat lama.” Ucap Patria dibarengi anggukan Tian, “Tapi mengapa kau ingin berkenalan denganku? bukankah semuanya sudah selesai.” Patria sangat heran dengan Tian, mereka pernah bertemu sebelumnya, dalam keadaan yang bisa dibilang sangat tidak baik, saat dimana Tian dipergoki oleh dirinya mencuri bunga Ivy dirumahnya. Gadis yang selama ini entah bagaimana selalu berada dalam pikirannya. Dia bahkan selalu menguntit Tian selama 1 tahun belakangan ini. Benar-benar aneh. “Entahlah, penasaran mungkin.” Jawab Tian sekenanya, tangannya kini sibuk mengaduk-aduk sambal di mangkuk. “Kenapa?” jawaban Tian sangatlah tidak memuaskan Patria. Tak mungkin hanya sekedar rasa penasaran yang membuat Tian sampai berusaha berkenalan dengannya. “Namamu sama seperti ayahku, mendiang ayahku.” Kini Tian bicara, matanya tengah memandang sesuatu dalam mangkuk sambal. Seakan ayahnya berada dalam kubangan berwarna hijau itu. “Oh, aku turut berduka.” Terdengar dari nadanya Patria sangat menyesal, ternyata namanya sama seperti ayah Tian. “Dia sudah lama meninggal. Aku cukup kehilangan saat itu, untung saja aku kuat. Dia adalah pria yang luar biasa yang aku dan ibu sayangi, mengingat bahwa dia sudah meninggal saja membuatku terkadang tak percaya. Pria yang baik dia.” Lanjut Tian, tak mempedulikan Patria yang kini menatapnya tajam. Tian terus saja mengaduk-aduk sambal. “sampai tiba-tiba aku menemukan KTM mu, nama Patria bukan nama yang umum bukan?” sekarang Tian mengalihkan fokusnya pada Patria. Matanya menatap lekat-lekat pria yang ada dihadapannya. Wajah Patria tidak seperti pria kebanyakan tidak jelek tidak tampan, justru cantik. “Itu nama pemberian kakekku.” Jawab Patria sambil membalas tatapan Tian. Tian tak bergeming, bahkan terlihat sedikit bosan, “Kau tinggal dengannya bukan? Di rumah besar itu. Ivynya sudah banyak yang bermekaran.” “Kau masih mencuri ivy-ivy itu?” Pertanyaan Patria kali ini membuat Tian terkekeh, membuat Tian semakin manis. “hehe, kebiasaan lama.” “ohya, mengapa kau mencuri bunga ivy di rumah kakek?” “Ku bilang itu kebiasaan lama, untuk mendiang ayahku. Dia sangat menyukai ivy yang ada di rumah kakekmu.” Tian mengubah posisi duduknya.
“Tapi kenapa harus disitu? Bukankah banyak tempat lainnya.” “Pernah dengar nama keluarga yang dulu tinggal di rumah itu?” “mungkin, tapi aku tak begitu ingat.” “Pramono. Itu nama keluarganya. Dan itu adalah nama keluargaku. Dulu aku tinggal di rumah yang sekarang kau tempati.” “oh, betulkah? Pantas saja kau bilang kebiasaan. Haha betapa anehnya. Dunia itu sempit ya.” – “tapi kenapa pindah?” “Entahlah, tak perlu dibahas lagi. Semua sudah berlalu. Dan karena pemilik rumah sudah mengetahui alasanku, berarti aku boleh untuk mengambil bunga ivy sesukaku kan??” perkataan Tian ini seperti menutup pembicaraan, pembicaraan yang kurang menyenangkan dengan sesuatu yang dapat membuat seseorang tak lagi mengungkit masa lalunya. “Tidak bisa.” Ucap Patria yang membuat Tian terkejut, “Kenapa?” “Karena harus aku yang mengambilkannya untukmu.” “maksudmu??” Tian semakin tak mengerti. “karena aku ingin kau menjadi kekasihku.”
***
“APA?!” jerit Joe tak percaya, Tian hanya bisa mengangguk mengiyakan sambil tetap menyeruput susu kotak miliknya. “lalu apa jawabanmu?” masih dengan napas yang memburu, Joe menanyakan jawaban dari cerita sahabat kecilnya itu, tak menyangka bahwa akan ada kejadian seperti saat ini. “aku mengiyakan. Dia cantik.” Senyum Tian tersungging di bibir tipisnya, membuat matanya sedikit tertutup membuat eye-smile diwajahnya. Joe hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dirinya heran melihat kelakuan sahabatnya, yang bisa-bisanya menerima seorang pria yang bahkan baru dikenalnya dalam waktu 1 hari. “Kau bahkan belum mengenal orang itu dengan baik.” Joe menutup kedua matanya sebelum melanjutkan bicara “tapi kau menerimanya hanya karena dia cantik. Kau sudah gila, Tian.” Joe masih tak bisa menerima keadaan yang terjadi, berdiri diantara sofa tempat Tian duduk bersila dan lemari kayu kecil. “hanya karena aku menyukai wajah cantiknya, bukan berarti aku gila ya, Joe.” Tian tak terima dengan perkataan Joe, bahwa dirinya gila. Bukan salahnya jika pria itu cantik, Tian suka pria cantik. “Aku heran,ceritakan padaku Ti. Please…… Aku masih tak mengerti dengan dirimu, aku rasa masih banyak yang kau sembunyikan selain ini.” Joe memasang wajah memohon, membuat dirinya tampak konyol namun serius. Baru kali ini Tian melihat Joe seserius ini. “Jangan konyol kau, Joe.” Tian melemparkan bantal tepat ke wajah Joe, “Aku serius, Tian.” Ucap Joe, tak biasanya dia seserius ini, “Apa karena namanya sama seperti nama ayahmu? Itu tak akan membuat dia menjadi sosok yang akan menggantikan ayahmu, mereka berbeda Tian.” Perkataan Joe membuat Tian sedikit tersentak. Dia bahkan tak menyadari kenyataan itu sebelum Joe membuat pernyataan itu. “Aku bahkan tak berpikiran seperti itu, Joe. Aku hanya melihat wajahnya, wajah cantiknya. Itu saja.” Jawab Tian sekenanya “babo yeoja..” ucap Joe lirih, menatap Tian dengan nanar.
0 komentar:
Post a Comment